Menanam Kebaikan
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Terkesan dengan berita sosok di salah sebuah koran bertaraf nasional berjudul "Menanam Air," penulis mengamini dan ingin mengikuti serta mengajak semua pembaca melaksanakannya. Menanam sebatang pohon keras dapat menyimpan air sehingga air tanah yang sangat kita perlukan dalam kehidupan sehari-hari tidak akan susah dicari dan digali. Jika memiliki lahan seberapa pun kecilnya, kita dapat memanfaatkannya sebagai media tanam pohon mangga, belimbing, atau jenis pohon buah produktif  lain. Misalnya di tepi jalan, di pekarangan, di tepi sungai, atau di tempat-tempat strategis lain.
Telah kita ketahui manfaat ganda penanaman pohon kayu keras dan pohon buah tersebut. Akarnya memang menyerap, menyimpan, dan menyediakan air tanah. Air yang jika tidak kita pedulikan dan lestarikan keberadaannya ini suatu saat akan musnah dan susah kita cari. Padahal air ini sangat vital dalam menyokong seluruh kehidupan manusia. Daunnya pun selain pelindung, penyejuk, penyegar alami, penghasil oksigen, juga filter gas polutan yang bertebaran di udara. Bunga yang beraneka bentuk dan warna juga akan memanjakan mata sehingga stres, kejenuhan, dan kelelahan pun dapat terobati dan tersemangati kembali dengan melihat keindahan ciptaan-Nya ini. Apalagi buahnya. Aneka vitamin alami dan kebaikan dari dalamnya sangat pula kita perlukan demi menunjang kesehatan fisik kita. Belum lagi jika dikaitkan dengan isu global warming. Bukankah yang dapat kita lakukan adalah menanam pohon ini? Â Hal kecil, tetapi sangat besar manfaatnya baik bagi kita, anak cucu kita, maupun alam sekitar kita!
Seorang teman menceritakan kejengkelannya. Pulang bekerja bukannya bisa beristirahat dengan nyaman setelah lelah bekerja, tetapi jengkel melulu. Karena merasa tidak pernah bisa beristirahat saat pohon mangganya berbuah lebat, ia pun benar-benar emosi. Apalagi  satu pohon rambutan di dekat kamarnya juga menjadi sasaran anak-anak kecil berebutan riuh di pekarangan rumahnya. Tanpa berpikir panjang ia pun berbuat nekat di luar kendali. Kejengkelan yang membuncah menyebabkan ditebangnya pohon mangga dan rambutan yang telah bertahun-tahun hidup menaungi pekarangannya itu.
Tahun berikutnya ia merasakan sesal yang tidak dapat ditukar dan segera dibayar. Biasanya jika sedang musim buah ia bisa memetik dari pekarangan rumahnya, kini  tidak lagi dapat menikmati manisnya mangga dan rambutan itu. Semakin disadari betapa selain memberikan buah, pohon yang telanjur ditebang itu membawa kenikmatan dan kesejukan di dalam rumahnya. Tanpa pohon itu halaman rumahnya kini gersang. Panas bukan main memenuhi ruang tamu dan seluruh rumahnya. Membutuhkan waktu sekitar puluhan tahun lagi untuk dapat menikmati kembali manfaat dua pohon yang ditebangnya itu jika mulai lagi menanamnya hari ini. Sementara, untuk  menebangnya hanya butuh waktu sekitar satu jam saja! Ia benar-benar merasakan kehilangan 'aset kebaikan' yang telah ditanamnya selama puluhan tahun!
Bagi penulis, berlibur tidak harus menguras dana pergi entah ke mana karena di rumah pun dapat menikmatinya. Penghematan dana rekreasi terbukti karena memiliki sedikit lahan yang dihiasi pepohonan. Aneka tanaman buah seperti beberapa jenis pohon mangga, rambutan, durian, duku, langsat, jeruk keprok, jeruk bali, jambu madura, dan kacang amazone tumbuh rimbun di pekarangan. Ketika liburan tiba, kami kerasan berada di rumah karena menikmati panorama alami dan sarat ilhami. Riuhnya celoteh burung-burung liar yang bertandang seperti burung gereja, pipit, cemblek, bahkan beberapa ekor  kutilang dan trocokan liar mengilhami nurani untuk memuji  Illahi dan menyembah Allah, Sang Khalik Kreator Mahahebat itu. Sejuk, damai, tanpa polusi.  Adem, segar,  dan asri. Romantis dan manis!
Mulai sekitar jam sembilan pagi, beberapa ekor cemblek saling memanggil temannya. Riuh bercuit-cuit, berlompatan di antara dahan dan daun. Cemblek pun bernyanyi seolah mewartakan akan bakal datangnya tamu bagi kita. Beberapa saat kemudian digantikan kehadiran kawanan burung gereja.  Mereka  berbondong menukik ke halaman yang kebetulan terdapat gundukan pasir sisa material bangunan. Mereka mandi pasir hangat (Jw: kipu) sebagaimana sedang melakukan ritual spa dengan riuh dan lucunya. Bermacam ulah dipamerkannya. Ada yang seolah bermain plesetan, berebutan tempat, saling patuk, saling tubruk, bercanda riang gembira. Sebentar kemudian digantikan beberapa kutilang yang bergeleparan di antara dahan sambil bersiul-siul pula. Bukankah ini sarana rekreasi yang murah meriah? Hemat, tetapi nikmat!
Menanam pohon tersebut juga berarti menyelamatkan dan melestarikan satwa, khusus aneka burung. Jika di perkotaan masih ada kutilang liar, bukankah itu pertanda bahwa habitat masih terpelihara? Burung manyar yang dua puluh tahun lalu sarangnya masih bergelantungan dan bertebaran di pucuk daun palem yang berjajar di sepanjang  Jalan Ijen, ikon Kota Malang, itu kini sirna. Akankah kepunahan satwa itu terus berlanjut? Kinilah saat yang tepat untuk menanam kebaikan melalui penanaman pohon multifungsi  itu tanpa bertangguh! Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H