Kunanti di Bawah Pohon Kamboja
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
"Kau kira menikah itu cukup dengan cinta? Jangan bodoh!" kudengar menggelegar dari dapur.
"Dilihat bibit, bobot, dan bebed-nya! Kau paham, tidak?" lanjutnya lantang. "Dari bibit aja gak masuk hitungan! Kami tahu persis siapa dia, bagaimana sejarahnya! Jangan paksa untuk setuju dengan pilihanmu!"
"Ya, aku dengar dengan jelas! Bahkan, masih terngiang-ngiang hingga saat ini! Hampir  setengah abad setelahnya!"
Saat itu aku diajak singgah ke rumahnya. Bagai runtuh langitku mendengar penolakan ibunya seperti itu. Lunglai seluruh sendi ragaku. Patah semangatku!
***
Dia  kakak tingkatku di jurusan yang sama. Dua tahun di atasku. Ketika aku mahasiswa baru, dia siap mengambil sarjana mudanya. Namun, masih ada mata kuliah umum yang harus diambil bersamaan dengan angkatanku.
"Kau terlambat juga?" tanyanya di luar ruang H, ruang mata kuliah umum yang diikuti oleh beberapa jurusan sekaligus.
Aku mengangguk karena belum mengenal dengan baik. Kebetulan kuliah pagi ini aku terlambat harus mencuci dulu.
"Nyucinya sore aja, pagi biar nggak terlambat kuliah!" seru ibu indekosku.