Pupus sudah impiannya bersama Divadiandra, seperti pupusnya hasrat mama merangkai kembali, merajut masa-masa indah bersama ayahnya. Ingin ia segera terbang jauh ke luar angkasa bertemu dengan malaikat pencabut nyawa. Ingin rasanya ia mati saja. Ia kini berada di ujung hati yang hampir lumpuh.
Dalam hatinya ia berbisik. "Maafkan aku, Ma! Aku tak bisa mempersatukan Kalian." Momo bangkit dari pembaringan yang beralaskan bad cover bermotif batik berwarna jingga. Tertata rapi, seperti Bu Sunny menata rapi rahasia perselingkuhannya dengan sang ayah. Terdengar suara parau lelaki itu memohon maaf ke arah Momo.Â
Namun dengan wajah ditekuk dan senyum kecut, ia membuang muka. Momo tak ingin menatap wajah lelaki yang dianggapnya bejat. Hatinya sungguh membenci yang amat sangat.
Langit-langit kamar nampak seperti awan berkabut tebal menggelantung di sana. Ada tetes embun perlahan membias, melelehkan kebencian dalam sukma yang penuh bercak-bercak amarah.Â
Kemarahan yang lama terpendam dalam diam. Tergores jarum prahara yang sangat tajam menancap keras ke dasar ulu hati. Teramat sakit. Momo hanya mampu menatap sang mama.Â
Miris rasanya. "Kita benar-benar impas, Ma!" Setelah itu, ia berlari keluar dari ruang itu. Pecahlah sudah tangis yang sedari tadi ditahannya. Air matanya menyatu bersama derasnya hujan.Â
Kebahagiaan anak tergantung bagaimana seorang ayah tidak melukai hati ibunya.
***
NK/07/07/20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H