Mohon tunggu...
Ninid Alfatih
Ninid Alfatih Mohon Tunggu... Guru - ibu 3 anak

just a reader

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sahabat pena dan orang udik

15 Desember 2011   09:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:14 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku membaca artikel tentang Christie Damayantie yang diulas oleh admin kompasiana. Dia adalah kompasioner of the year. Membaca kisah hidupnya, aku baru menyadari bahwa yang ditulis Christie adalah kisah sehari-hari yang ditulis dengan sangat jujur dan apa adanya.  Justru itu yang menjadi kekuatan tulisan. Beda sekali dengan yang ada dalam bayanganku tentang share tulisan di depan khalayak yang harus memenuhi beberapa standar. Semisal kelihatan ilmiah, tidak ecek-ecek, tidak memalukan, tidak pribadional -apa ini ?- dan standar yang membuatku merasa harus kontemplasi dan baca buku dulu sebelum menulis. Persiapan yang berujung pada kegagalanku menyelesaikan tulisan. Akupun gagal posting. Padahal gelegak menulisku sangat kuat. Hanya karena aku tak ingin kelihatan kacangan dan nggak mutu, aku sering tak pernah bisa menyelesaikan tulisanku.

Tetapi yang membuatku tertarik adalah membaca hobinya berkoresponden dan mengumpulkan perangko. Aku seperti melihat diriku 25-30 tahun yang lalu, saat aku masih sekolah dasar dan menengah. Masa-masa sekitar tahun awal 80-an, ketika banyak anak-anak dibesarkan oleh majalah Bobo, Kawanku, Ananda dan Hai. Apa yang diulas di majalah anak-anak dan remaja tersebut menjadi trend pembacanya. Majalah terbitan Gramedia itu banyak mengulas seputar hobi dan petualangan. Kurasa begitulah anak-anak waktu itu dibesarkan. Paling tidak aku dan saudara-saudaraku yang sering berbagi pinjam, karena kami berlainan langganan. Aku juga seorang filatelis dan hobi koresponden. Teman pena pertamaku kudapatkan dari majalah Ananda. Namanya Hernita Tri Laksmi, biasa dipanggil Nita.

Mengingat bagaimana aku memulai menulis surat pertamaku, membuatku geli. Bahasanya sangat standar sekali. Itupun aku sudah dibantu kakak sepupuku. Aku masih kelas 3 SD waktu itu. Begini bunyinya : Hai apa kabar ? Kalau aku baik-baik saja. Nita sekolah dimana? Kalau Ninid, di SDN Tambakrejo I Jombang Jawa Timur. Setelah itu hanya 4 baris tulisan yang basi banget. Biar kertas suratnya kelihatan penuh, tulisannya digede-gedein. Hahaha..Walau begitu, aku sangat berharap suratku dapat balasan. Kupikir, Nita pasti kesusahan bikin topik selanjutnya, karena minimnya kata-kataku. Sebagai anak Jakarta yang metropolis dan gaul, Nita kelihatannya tak terlalu susah merangkai kalimat diselingi bahasa-bahasa prokem seperti kokai, doku dst. Tinggallah si ndesit ini punya topik di surat mendatang dengan 3 kata tanya : Itu apa artinya ?

Surat-surat korespondensi kami masih kusimpan sampai sekarang. Hasil dari persahabatan kami adalah, aku bisa menulis surat hingga 8 lembar tanpa ganti kertas. Jasa Nita sungguh luar biasa.  Dia sabar sekali membalas surat-suratku. Kami terus berkirim surat bahkan sampai aku menikah. Bagiku yang paling membanggakan adalah ketika suratnya nangkring di kotak pos sekolah. Aku dipanggil guru untuk menerima surat balasan Nita. Saat itu aku satu-satunya yang dapat kiriman surat dari seorang sahabat pena. Sengaja kualamatkan di sekolah untuk..pamer ! Aku menikmati kebanggaan dan tatapan penuh rasa ingin tahu teman-temanku. Dasar udik banget aku..haha..

Nah di sela-sela percakapan kami, tumbuh minatku sebagai filatelis. Semula ayahku yang memperkenalkan. Beliau membelikanku album perangko dan beberapa contoh perangko. Mulailah sejak itu aku berburu perangko. Kebetulan waktu itu banyak toko-toko yang menyediakan perlengkapan filatelis. Meskipun tentu saja tidak lengkap, karena Jombang hanyalah kota kecil. Aku juga bertukar perangko dengan Nita. Kupikir, masa kecilku sibuk sekali, karena aku sekolah hingga sore hari. Tapi ternyata masih tetap punya waktu luang untuk mengasah hobi.

Aku bersyukur, dalam lintasan hidupku, sejak kecil hingga dewasa, aku selalu bertemu dengan orang-orang yang penuh kasih dan mengenalkanku pada bentuk kehidupan penuh warna. Kurasa sensitivitasku juga terasah oleh perbincanganku dengan Nita yang penuh kasih. Terimakasih Nita, untuk fase indah dalam hidup remajaku.

Siapapun orang yang hadir dalam hidup kita, asal kita menyadari bahwa perubahan positif terjadi dalam persentuhan itu, maka dia adalah inspirator.

Mbak Christie, tulisanku yang ini terinspirasi dari postingmu tentang perangko dan persahabatanmu dengan Dirk. Aku selalu yakin akan kekuatan cinta kasih yang membawa perubahan. Bersyukurlah bahwa kita masih punya perasaan mendalam untuk hal-hal yang mungkin buat orang lain kelewat sederhana dan biasa. Semoga aku tak ragu lagi menulis, walaupun mungkin bagi orang lain itu ecek-ecek. Terimakasih pada matahari yang terus menyinari bumi dengan cahayanya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun