Mohon tunggu...
Ningtyas Saksita Putri
Ningtyas Saksita Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

INFP-T, short story writer

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manusia dan Puisi: Sebuah Refleksi ataukah Kritik Semata?

24 Juni 2023   21:40 Diperbarui: 24 Juni 2023   22:12 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku      : 오래된 것들을 생각할 때에는 / Ikan Adalah Pertapa (Kumpulan Puisi Ko Hyeong Ryeol)

Pengarang       : Ko Hyeong-Ryeol

Penerjemah     : Kim Young Soo

                                Nenden Lilis Aisyah

Penerbit            : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Tahun Terbit   : 2023

Tebal                  : xxiii + 259 Halaman

Layaknya napas, sastra tidak dapat hidup tanpa adanya kehidupan manusia dan kehidupan manusia tentu tidak lepas dari hal-hal yang berkaitan dengan sastra. Ko Hyeong Ryeol merupakan salah satu sastrawan yang menjadikan esensi kehidupan manusia sebagai tema mayor pada karya ciptaannya. Ryeol merupakan salah satu penyair Korea Selatan yang telah lama berkecimpung di dunia sastra. Karya pertamanya ialah sebuah puisi yang terbit di majalah sastra Hyundaemoonhak, yakni puisi "Chuangtzu " pada tahun 1979. Karya terbarunya kali ini ialah sebuah antologi puisi yang memuat 60 buah puisi terbagi menjadi 4 (empat) sub-bagian yang masing-masing terdapat sebanyak 15 puisi di dalamnya. Kumpulan puisi dalam "Ikan Adalah Pertapa" merupakan kumpulan puisi dwibahasa (Indonesia-Korea) yang memiliki tema besar mengenai kehidupan manusia.

Mendengar kata "Pertapa" yang ada di benak kita adalah orang yang memilih untuk hidup jauh dari keramaian, hidup menyendiri. Namun, pertapa memiliki tujuan membentuk kehidupan dengan meraih budi yang baik agar dapat hidup tanpa rasa pamrih, dan dapat memaknai kehidupan lebih mendalam. Ryeol berusaha untuk menyadarkan pembaca bahwa kita sebagai manusia harus bisa membentuk kehidupan yang baik. Ia menggunakan metafora berupa benda-benda mati seperti batu, lubang, kipas angin, dan lainnya, serta benda hidup seperti ikan, rusa, benih bunga, dan lainnya yang memiliki makna konotatif untuk membuat kita tak hanya menafsirkan sebuah puisi dalam satu makna saja. Penggunaan kata bermakna konotatif tersebut dapat dilihat dalam puisi berikut.

Cahaya menarik pekik lalu pergi/

Cahaya mekar dan lenyap/ ("Menangkap Cahaya yang Tak Dapat Menyebrang", Ryeol, hlm, 10)

Penggunaan kata cahaya dalam kutipan puisi di atas memberi makna impian atau harapan. Dalam puisi ini, Ryeol berusaha untuk memberitahu bahwa dalam kehidupan kita memiliki harapan dan impian yang dapat dicapai dan untuk mencapai hal tersebut harus melewati banyak halangan atau rintangan terlebih dahulu. Selain itu, penggunaan kata cahaya juga bisa diartikan sebagai sebuah petunjuk atau arah yang hendak diambil dalam kehidupan. Kita dapat menafsirkan kata cahaya dalam puisi tersebut sesuai dengan pemaknaan yang kita dapat setelah membacanya.

Dalam penulisan tipografi, puisi miliknya memiliki tipografi yang beragam seperti pada puisi Tetesan Air, Tetesan Air, Hanya Setetes Air yang diawali dengan tanda elipsis (...) seolah mengambil napas panjang sebelum membacanya, pada puisi Biseondae dan Puisi Prosais Setelah Makan Mie Dingin memiliki tipografi paragraf yang menjorok ke dalam, dan ada juga puisi-puisi seperti Anak di Rumah Itu, dan Apa Makanan Bebek Untuk Petang Ini yang tiap larik dan baitnya memiliki tipografi yang serasi. Penggunaan tipografi yang berbeda-beda ini tentu diselaraskan dengan makna puisi yang hendak disampaikan.

Lewat puisi-puisinya, Ryeol mengungkap bagaimana kehidupan sosial masyarakat Korea yang jauh dari kata sempurna. Hegemoni, tidak meratanya tingkat ekonomi, kesewenang-wenangan, kehidupan yang dinamis, dan lainnya berusaha ia gambarkan melalui penggunaan imaji pada puisi-puisinya, yakni meliputi imaji penglihatan, perabaan, pendengaran, perasa, dan lainnya. Seperti terasa pada bait puisinya berikut:

Untuk pertama kalinya aku melihat sawi putih dan lobak yang begitu hijau/

Sesekali kuangkat tangan dan menatap langit/

Mungkin karena tingginya hidup yang tak dapat diraih lagi/ ("Di Mana Mata Rusa Juga Menua", Ryeol, hlm 64)

Imaji penglihatan hadir dalam kutipan puisi di atas, ditandai dengan kata melihat. Pada puisi di atas, imaji penglihatan ini dihadirkan agar pembaca turut merasakan peristiwa yang ada dalam puisi. Peristiwa yang terjadi dalam puisi berkaitan dengan kehidupan yang dinamis, di mana sosok "Aku" dalam puisi ini sedang merasakan puncak kehidupan, yakni masa dewasa. Pada masa dewasa, kita sering kali merasa sudah tidak memiliki impian yang dapat diraih lagi. Penggunaan dan permainan kata yang kolokial juga tidak familier dalam puisi-puisi karyanya menandakan bahwa ia memiliki kemampuan mengolah kata dan memiliki imaji yang sangat luar biasa.

Melihat puisi-puisi Ryeol, tentunya kita akan mengingat salah satu sastrawan Indonesia yang memiliki karya-karya berisi kritik sosial mengenai kehidupan, yakni W.S Rendra. Rendra membuat puisi-puisi berdasarkan kenyataan yang ada pada masyarakat Indonesia. Namun, puisi milik Ryeol tidak hanya berisi kritik sosial mengenai kehidupan, tetapi juga berisi bagaimana manusia merefleksikan berbagai rasa yang hadir saat mereka menjalani kehidupan, seperti rasa cemas, kehilangan, rasa iri, hilang arah, dan lainnya.

Kehidupan orang lain selalu tampak lebih ringan daripada kehidupan diri sendiri/

Dalam tagihan-tagihan pelayanan air, listrik, dan gas// ("Di Kotak Pos Nomor 203",   Ryeol, hlm 50)

Kutipan puisi Di Kotak Pos Nomor 203 menggambarkan salah satu rasa yang muncul pada manusia saat menjalani kehidupan, yakni rasa iri dengan kehidupan orang lain. Kita sering kali tidak mensyukuri kehidupan sendiri karena melihat kehidupan orang lain yang "dirasa" lebih baik dari kehidupan kita. Hal ini bisa menjadi salah satu alasan kita membaca kumpulan puisi milik Ryeol karena gambaran kehidupan yang begitu nyata dirasakan, sehingga kita sebagai pembaca tertarik karena merasa ada orang lain yang "senasib". Ryeol dalam buku "Ikan Adalah Pertapa" tak hanya berisi kritik atas kehidupan yang ia jalani, tetapi juga berisi cerminan atau gambaran mengenai kehidupan yang banyak manusia rasakan.

Meskipun demikian, puisi yang terdapat pada antologi puisi milik Ko Hyeong Ryeol ini menggunakan bahasa-bahasa yang sedikit rumit. Diksi yang digunakan memang sangat unik dan jarang digunakan oleh banyak orang. Namun, nyatanya penggunaan diksi tersebut terkesan berat sehingga sulit untuk menangkap maksud puisi tersebut dalam sekali baca. Untuk memahami puisi-puisi dalam buku antologi ini haruslah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sastra, terutama puisi.

Terlepas dari semua itu, karya antologi puisi milik Ryeol ini mampu memberikan sumbangan yang berarti pada perkembangan sastra terjemahan di Indonesia, sekaligus memperkaya antologi puisi yang sudah ada. Melalui karyanya ini, kita dapat semakin memahami bahwa karya sastra bisa menjadi ladang bagi manusia untuk merefleksikan kehidupan melalui permainan kata, sekaligus menciptakan sebuah kritik mengenai berbagai fenomena di dalam kehidupan yang tengah dijalani. Puisi-puisi dalam karyanya ini diharapkan dapat membuat manusia sadar untuk terus berusaha mendapatkan kualitas hidup sesuai dengan yang mereka inginkan. (Ningtyas Saksita Putri).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun