Pemerintah sejak 2019 menargetkan visi "Indonesia Emas 2045". Banyak hal-hal yang ingin dicapai. Misalnya pendapatan per kapita US$30.300 atau Rp492 juta.
Indonesia juga digadang-gadang menjadi negara maju dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar kelima di dunia yakni US$7,3 triliun atau Rp118 kuadriliun.
Dukungan datang dari peranan Kawasan Timur Indonesia yang menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional hingga 25 persen.
Angka kemiskinan juga akan diturunkan 0,5 hingga 0,8 persen. Begitu pula ketimpangan antarwilayah dan pendapatan antarpenduduk.
Ditargetkan, 82 persen dari total penduduk menjadi kelas menengah.
Untuk mencapai visi itu, ekonomi nasional diharapkan tumbuh 6 sampai 7 persen.
Nah, tahun ini, potensi untuk mewujudkan visi "Indonesia Emas 2045" sudah nampak. Misalnya dari proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang menyebutkan, 2025 ini pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,1 persen.
Prediksi ini sama dengan Bank Dunia dalam paparan "Indonesia Economic Prospects" edisi Desember 2024.
Sementara itu, prakiraan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebut, ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen pada 2025.
Proyeksi ini juga sama seperti disampaikan UNCTAD atau badan permanen Perserikatan Bangsa-Bangsa bidang perdagangan, investasi, dan pembangunan.
Delapan Misi Pembangunan
Lantas, berdasarkan potensi itu, pemerintah pun menyusun delapan misi pembangunan guna mengakselerasi terwujudnya visi "Indonesia Emas 2045".
Mulai dari Mewujudkan Transformasi Sosial; Ekonomi; Tata Kelola; Memantapkan Supremasi Hukum, Stabilitas, dan Kepemimpinan Indonesia; Ketahanan Sosial Budaya dan Ekologi; Mewujudkan Pembangunan Kewilayahan yang Merata dan Berkeadilan; Sarana dan Prasarana yang Berkualitas dan Ramah Lingkungan; hingga Kesinambungan Pembangunan.
Kepala Badan Bank Tanah (BBT), Parman Nataatmadja mengeklaim, BBT berperan pada misi keenam, yakni mewujudkan pembangunan kewilayahan yang merata dan berkeadilan terutama dibidang ekonomi yang berdasarkan pertanahan.
Dalam upaya mewujudkan itu, BBT memahami ada kendala dan berbagai isu pertanahan.
Pertama, ketidaksetaraan pembangunan (inequality development). Fokusnya ada pada pusat pertumbuhan nasional yang masih dominan di Pulau Jawa.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, perekonomian Indonesia berdasarkan besaran PDB pada triwulan III-2024 mencapai Rp5.638,9 triliun. Masalahnya, kelompok provinsi di Pulau Jawa masih menjadi penyumbang ekonomi terbesar yakni 56,84 persen dari PDB nasional, dan mencatat pertumbuhan 4,92 persen.
"Pusat pertumbuhan masih ada di Pulau Jawa dan merepresentasikan lebih dari 50 persen PDB secara nasional. Badan Bank Tanah perlu melakukan pemerataan pembangunan," ujar Parman di forum "Peran Bank Tanah dalam Penjaminan Ketersediaan Tanah yang Berkeadilan" (1/10/2024).
Kedua, ketimpangan pemilikan dan ketersediaan lahan. Analisis menyebutkan, satu persen dari penduduk Indonesia menguasai 59 persen lahan di tanah air. Pemerintah mengakui analisis tersebut. Sekaligus menyatakan sedang mengurangi kesenjangan dengan membagikan lahan ke masyarakat.
"Badan Bank Tanah mencadangkan ketersediaan tanah untuk masyarakat miskin, investasi, sehingga nanti terlihat keadilan kepemilikan tanah," tutur Parman.
Ketiga, ketahanan pangan. Dukungan BBT terhadap program swasembada pangan yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto sudah dilaksanakan dengan kesiapan lahan di Poso, Luwuk, dan Tapanuli Selatan.
BBT juga sudah membidik lahan potensial untuk digunakan sebagai lokasi penanaman komoditas pangan. Wilayah itu merupakan bagian dari tanah yang dikelola BBT seluas 27 ribu hektare.
Terkait ketahanan pangan, Parman mengingatkan, jangan sampai drastisnya dampak perubahan iklim membuat lahan sawah kian menyusut.
"Kita sangat concern dengan ketahanan pangan, karena penting untuk swasembada pangan," ujarnya.
Keempat, ketahanan energi baru dan terbarukan. BBT turut berperan dalam mendukung swasembada energi. Caranya, dengan mengelola tanah untuk proyek energi nasional, seperti pengadaan lahan, pendaftaran hak tanah, dan sertifikasi aset.
BBT pernah menandatangani Nota Kesepahaman dengan PT Pertamina yang mencakup sertifikasi tanah jalur pipa Boyolali-Pengapon. Tujuannya memperkuat infrastruktur distribusi energi di Jawa Tengah.
Sejumlah Masalah Pertanahan
Tapi, Parman tidak memungkiri ada sejumlah sengkarut ihwal pertanahan.
Pertama, ketidakpastian hukum. Ini terutama dalam hal administrasi lahan yang menyebabkan ambiguitas dan ketidakpastian.
"Tugas Badan Bank Tanah memberikan kepastian hukum atas tanah itu sendiri. Karena yang paling sulit di Republik ini adalah bagaimana mendapatkan tanah itu sendiri. Hal yang tidak mudah, kita memberikan kepastian hukum, efektivitas waktu, hanya deal dengan Badan Bank Tanah dan beberapa pihak, tidak complicated, kita mempermudah hal-hal menjadi simple bagi investor untuk berinvestasi khususnya di lahan yang ada di Badan Bank Tanah," ujarnya saat penandatanganan Nota Kesepahaman BBT dengan PT Bank JTrust Indonesia dan PT J Trust Consulting Indonesia di Jakarta (26/6/2024).
Para investor, ungkap Parman, mengkhawatirkan kepastian hukum bagaimana memperoleh tanah.
Kedua, regulasi yang tumpang tindih.
Ketiga, sengketa lahan.
Sepanjang 2024, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengeklaim, menyelesaikan 2.161 kasus dari 5.973 aduan kasus pertanahan yang diterima. Meliputi 936 sengketa, 32 konflik, dan 1.193 perkara pertanahan. Kasusnya mulai dari konflik individu, korporasi, hingga yang melibatkan negara.
Di sisi lain, Komisi II DPR RIÂ menyatakan, selama 2024 menerima 495 pengaduan masyarakat. Khusus klaster pengaduan bidang tanah dan tata ruang, jumlahnya mencapai 120 aduan. Terbanyak, soal mafia tanah hingga penyerobotan tanah tanpa hak.
Di lain pihak, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam "Catatan Akhir Tahun 2024" menyebutkan, konflik agraria merupakan salah satu isu yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM setiap tahun, dengan total 2.639 kasus per Agustus 2024.
Keempat, kawasan hutan. Pemerintah sudah merencanakan program reforestasi dan reboisasi skala besar di berbagai wilayah. Program ini menyasar kawasan hutan seluas 6,5 juta hektare. Penanaman kembali wilayah hutan yang terdegradasi itu juga akan menyasar lahan kritis. Saat ini tercatat ada 12,7 juta hektare lahan kritis di tanah air.
Potensi Daerah dan Kesejahteraan RakyatÂ
Berdiri sejak 2021, BBT dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah. Beleid ini merupakan aturan turunan dari Pasal 135 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Data BBT menunjukkan, luas total Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Berjalan hingga Oktober 2024 mencapai 20.423 hektare. Adapun pemanfaatannya, untuk pemerataan ekonomi, keadilan sosial, memastikan pemerataan kepemilikan tanah, dan mendukung Reforma Agraria (RA).
Termasuk, mendorong potensi ekonomi daerah. Nah, apa dan dimana sajakah contoh-contohnya itu?
Pengembangan Industri Sapi Perah
Di Poso, Sulawesi Tengah, HPL BBT di Lembah Napu ditetapkan menjadi lokasi investasi industri sapi perah modern. Sejumlah kriteria sudah terpenuhi, mulai dari lahannya "clean & clear", infrastruktur jalur logistik memadai, dan letak geografis yang dekat dengan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Diperkirakan, dari 250 ribu ekor sapi bisa menghasilkan 1,8 juta liter susu per tahun. Ini untuk memenuhi kebutuhan reguler maupun kebutuhan program makan bergizi gratis yang dicanangkan pemerintah.
Budidaya Bandeng dan Rumput Laut
BBT juga mengelola dan memanfaatkan HPL yang dimiliki negara, antara lain dengan menjadikan Desa Tengkurak di Serang, Banten sebagai wilayah pengembangan budidaya bandeng dan rumput laut. Lahan yang dikelola BBT mencapai sekitar 7,5 hektare itu berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Mewujudkan Reforma Agraria
September tahun lalu, BBT menggelar sosialisasi pengukuran pendistribusian lahan pada HPL Badan Bank Tanah di Desa Batulawang, Cianjur, Jawa Barat. Sosialisasi dilakukan bersama Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dengan Kantor Pertanahan Kabupaten Cianjur, Kejaksaan Negeri Cianjur, dan Forkopimda.
Sosialisasi dihadiri 1.000 orang yang menjadi calon penerima RA di atas HPL BBT di Cianjur dari total 1.927 subyek yang diundang dan telah ditetapkan oleh Ketua GTRA Kabupaten Cianjur yakni Bupati Cianjur.
Sebagai pemegang amanah dari pemerintah untuk menjaga HPL di Cianjur, BBT berkomitmen melakukan penataan dengan tetap memperhatikan tata ruang pertanahan dan rumah tinggal yang berada di area HPL.
Pembukaan Akses Jalan Nasional
Sebelumnya, Kementerian ATR/BPN telah menetapkan alokasi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) di HPL BBT Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur seluas 1.873 hektare. Pelaksanaan RA di atas HPL BBT ini dilaksanakan bertahap. Tahap I menyasar masyarakat terdampak Pembangunan Bandara IKN, dan jalan bebas hambatan atau jalan tol IKN seksi 5B seluas 400 hektare.
Masyarakat terdampak Bandara IKN tidak hanya mendapat lahan, tapi juga penggantian tanam tumbuh melalui skema Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan (PDSK). Pelaksanaannya dilakukan Kementerian Perhubungan dan Kementerian PUPR.
Ketersediaan Rumah Masyarakat
Oktober tahun lalu, BBT dan PT Sarana Multigriya Finansial menandatangani nota kesepahaman kerja sama mengatasi persoalan ketersediaan rumah (backlog) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
MoU ini sejalan dengan tugas dan fungsi BBT yakni menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan. Salah satunya untuk kepentingan umum. BBT menyediakan lahan dengan harga kompetitif. Sementara SMF menyediakan pendanaan pembangunan rumahnya.
Dua HPL BBT di Kendal dan Brebes, Jawa Tengah seluas total 4,3 hektare  dimanfaatkan untuk pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. BBT berkolaborasi dengan Kementerian PUPR, Perumnas, Bank BTN, dan SMF.
Nyata sekali kiprah BBT sebagai instrumen terwujudnya kesejahteraan rakyat. Kontribusi kehadirannya begitu mulia karena menciptakan keadilan agraria.
Bukankah memang: "Apapun kepentingannya, tanah adalah sumber daya utama dan mendasar."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H