"Pengukuran emisi gas buang dilakukan secara rutin, dan dilaporkan ke dinas terkait di tingkat provinsi juga ke Kementerian LHK," tukasnya. Â
Beberapa terobosan juga dilakukan, seperti memasang sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di gedung-gedung perkantoran dan unit bisnis pembangkitannya. "Gedung perkantoran pembangkit kami di Suralaya ini, menerapkan PLTS dan mungkin yang terbesar di Indonesia dengan 1.254 kWp. Dampaknya, ikut menurunkan emisi khususnya pemakaian listrik di gedung-gedung, sehingga kami juga tidak lagi menggunakan listrik dari jaringan," ujarnya bangga seraya menyebut penerapan ini sekaligus untuk mencapai target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) dan mendukung kebijakan Pemerintah tentang pemanfaatan tenaga surya.
Terbaru, kata Irwan, PT PLN telah meresmikan 21 unit Green Hydrogen Plant (GHP) yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebanyak 20 unit GHP ada di Jawa-Bali, dan satu unit di Sumatera. Antara lain di PLTU Pangkalan Susu, PLTGU Muara Karang, PLTU Suralaya 1-7, PLTU Suralaya 8, PLTGU Cilegon, PLTU Labuhan, PLTU Lontar, PLTGU Tanjung Priok, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTGU Muara Tawar, PLTU Indramayu, dan PLTGU Tambak Lorok. Â
"Unit-unit ini memproduksi hidrogen secara 'green'. Hidrogen sangat dibutuhkan selama proses pembangkitan untuk mendinginkan peralatan utama," terang Irwan.
Menanti Sinergitas
Sinergitas antara sektor transportasi dan sektor energi memang patut terus digaungkan demi mewujudkan "langit biru" bebas polusi atau pencemaran udara. Apalagi, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian LHK, Sigit Reliantoro pada pertengahan Agustus 2023 lalu mengakui, polusi udara di Jakarta dan kota-kota di sekitarnya mengalami peningkatan terutama ketika musim kemarau.
Kementerian LHK pun telah melakukan berbagai upaya demi mencari tahu dari mana sumber pencemaran, terutama di DKI Jakarta ketika itu. Dan, berdasarkan hasil studi terkait penggunaan bahan bakar, pemicu polusi udara di Jakarta disebabkan oleh batubara 0,4 persen, minyak 9 persen, dan gas 51 persen.
Sektor kendaraan bermotor ternyata menjadi faktor utama polusi di DKI Jakarta. Menurut Kementerian LHK, sektor transportasi menyumbang 44 persen polusi ke udara, industri energi 31 persen, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen.
Dengan demikian, polutan yang ada di udara seperti PM10, PM2.5, NOx (Nitrogen oksida), dan karbon, lebih banyak dilepaskan dari kendaraan bermotor, seperti mobil, truk, kendaraan roda dua, dan sebagainya. Sementara gas SO2 (Sulfur Dioksida) memang lebih banyak berasal dari PLTU manufakturing yakni mencapai 61,96 persen.