Mohon tunggu...
nindya roliansya
nindya roliansya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

[Garuda 5 Ksatria 3]: Pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai untuk Penambahan Pembiayaan Kesehatan

20 Agustus 2023   18:28 Diperbarui: 20 Agustus 2023   18:58 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SDGs adalah kesepakatan Pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan. Tujuan tersebut diharapkan dapat tercapai demi kondisi dunia yang lebih baik di tahun 2030. Poin ketiga dari SDGs disebutkan "Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan". Poin ini diimplementasikan dengan memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua usia. Salah satunya adalah dengan jaminan kesehatan.

Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan

Presiden Joko Widodo baru saja menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres ini terbit dengan pertimbangan bahwa Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Perpres No. 28 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan perlu disempurnakan. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program Jaminan Kesehatan. Perpres ini diterbitkan sebagai jalan keluar untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan.

Anggaran Dana Jaminan Kesehatan Menggunakan Pajak Rokok?

Hal ini tidak selaras dengan narasi yang selama ini dielu-elukan oleh pemerintah untuk mengurangi dan menghindari rokok apabila pajak dan cukai rokok malah digunakan sebagai penyumbang dana Kesehatan. Pemerintah seolah menyuruh rakyat merokok untuk menutup defisit BPJS Kesehatan dengan mengalokasikan pajak rokok untuk badan tersebut. Anggaran dana Kesehatan yang mengambil pajak rokok sebagai penyumbang dana Kesehatan juga tidak disetujui oleh kelompok yang selama ini mengkampanyekan Gerakan antirokok. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) misalnya.

Upaya menggali dana pajak rokok dan cukai hasil tembakau untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan ibarat pemerintah mendorong rakyat agar sakit karena rokok. Meskipun begitu, alokasi pajak rokok atau cukai hasil tembakau untuk BPJS Kesehatan sebenarnya bisa dimengerti. Sebagai barang kena cukai, sebagian dananya layak dikembalikan untuk menangani dampak negatif rokok. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan serampangan karena bisa menimbulkan sejumlah ironi yang justru kontraproduktif bagi masyarakat dan BPJS Kesehatan. Keputusan pemerintah mengalokasikan pajak rokok dan cukai hasil tembakau untuk menutup defisit BPJS Kesehatan telah membuat para perokok merasa sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Bahkan, seorang ketua sebuah organisasi kepemudaan sampai mengeluarkan pernyataan untuk mengajak masyarakat agar terus merokok guna membantu pemerintah.

Upaya pemerintah menopang keuangan BPJS Kesehatan dengan cukai dan pajak rokok tak sesuai dengan Gerakan pengendalian konsumsi rokok. Jumlah orang sakit akan selalu bertambah. Sementara 75 persen pajak rokok itu seharusnya digunakan untuk pencegahan. Pemerintah seharusnya mencegah konsumsi rokok bukan membiayai pengobatan penyakit yang juga disebabkan oleh zat berbahaya dalam rokok.

Kesimpulan 

Pemerintah seharusnya tidak menggunakan banyak pajak rokok sebagai anggaran tambahan Janinan Kesehatan. Pemerintah harus memikirkan solusi jangka panjang untuk menjamin kesinambungan pembiayaan dan kualitas jaminan kesehatan yang menjadi hak warga negara. Pemerintah perlu menerbitkan sebuah Perpres yang dapat mengalokasikan sejumlah bagian tertentu untuk membiayai defisit BPJS Kesehatan yang sesuai dengan prinsip earmarking dalam UU Cukai dan UU PDRD. Ini juga merupakan gabungan kebijakan Pusat dan Daerah untuk memastikan bahwa kesehatan seluruh warga masyarakat terjamin. Menyelesaikan defisit dari iuran mandiri warga negara sesuai prinsip gotong royong dapat mencontoh kebijakan dan sistem perpajakan, termasuk disinergikan dengan administrasi perpajakan, khususnya melalui konsep single identification number, agar dapat secara efektif menyasar pihak yang mampu, tapi tidak mau membayar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun