Apa momen yang harus dirayakan di dunia ini? Ulang tahun? Wisuda? Kelahiran? Sayangnya aku tidak tahu bagaimana rasanya itu. Sebelum kalian beranjak lebih jauh, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Gempa dan semesta memilih kesedihan sebagai temanku.Â
Aku sudah mengenal rasa sakit jauh sejak di dalam kandungan. Ibuku, yang dimana aku juga tidak mengetahui seperti apa parasnya selalu menyodorkanku dengan asam panas dari minuman keras. Tentu aku tidak ingat bagaimana rasanya tetapi saat aku mengetahuinya sudah pasti itu sangat menyakitkan. Dari sini aku tahu seberapa besar perjuangan ibuku untuk memusnahkanku.Â
Jika kelahiranmu selalu diidam-idamkan, maka aku sebaliknya. Tetapi entahlah, mungkin semesta tahu jika jalanku masih panjang. Atau mungkin masih banyak rasa sakit yang akan menghampiriku.Â
Saat kalian merengek pada orang tua kalian untuk tidak pergi ke sekolah, aku harus memaksa diriku untuk pergi ke bank sampah. Aku masih ingat saat aku memungut tumpukan botol plastik di depan sekolahan ada satu mobil terparkir di depanku. Sebuah percakapan antara ayah dan anak laki-laki terlintas di telingaku.Â
"Ayah hari ini aku capek banget tadi habis main sepak bola."Â
"Tunggu sebentar ya, nanti kalau sampai rumah ayah panggilkan tukang pijat yang biasanya."Â
Aku tidak tahu kenapa percakapan itu mengandung bawang bagiku. Semakin aku pikirkan semakin aku sedih, sedih dan kasihan melihat diriku sendiri. Bagaimana bisa anak laki-laki yang mungkin seumuran denganku itu mendapatkan rasa capek dari bermain sedangkan aku capek karena bekerja dan tidak ada tukang pijat yang menghampiriku.Â
Jangan tanyakan padaku betapa sakitnya menahan tangis di tempat umum. Saat aku mencari tumpukan botol di sebuah taman belajar seorang anak perempuan yang mungkin usianya sedikit lebih muda dariku bertanya kepada ibunya.Â
"Mama kok mas itu nggak belajar kayak kita sih?"Â
"Mangkanya adik harus rajin belajar biar nanti nggak jadi kayak mas itu."Â
Tentu aku mendengarnya dengan jelas dan kata-kata itu bagaikan racun yang menyebar ke seluruh tubuhku. Aku tidak bisa berkata-kata apalagi membalasnya. Entahlah, mungkin aku memang sudah sadar bahwa aku tidak sederajat dengan mereka.Â
Setelah pergi dari taman itu tiba-tiba tangisku pecah. Aku berlari sambil menutupi mukaku untuk mencari tempat yang sepi. Alhasil berakhirlah aku di tengah-tengah tumpukan sampah yang menjadi saksi betapa derasnya air mataku kala itu.Â
"Aku juga tidak mau jadi seperti ini!" Jawabku dalam hati.Â
Jika kalian binggung memikirkan kado apa yang ingin kalian minta di hari ulang tahun kalian. Aku selalu binggung memikirkan apakah besok aku masih bisa makan atau tidak. Bahkan untuk makanan sisapun aku berterimakasih. Masih diberikan kesempatan untuk bangun di pagi hari dan mengumpulkan botol bekas saja merupakan hal yang lebih dari cukup bagiku. Maka sudah biasa aku melewati hari dengan perut keroncongan.Â
Sudah biasa aku dijadikan tontonan publik saat aku bekerja. Ada yang merasa empati atau bahkan ada yang menjadikanku bahan bersyukur. Aku memang tidak melihatnya langsung tetapi hatiku selalu merasakannya. Yasudah, tidak apa. Dengan mereka bisa melihatku aku sudah senang. Karena aku tahu bahwa masih banyak orang di luar sana yang menganggapku ada.Â
Setelah aku beranjak dewasa aku mulai sadar akan betapa beruntungnya aku. Aku bisa bangkit berkat diriku sendiri, aku bisa semangat atas senyumku sendiri dan aku berhasil memerangi sang surya setiap harinya. Memang benar kita tidak sederajat, karena menurut pandanganku detajatku sangat jauh di atas kalian. Inilah makna dari gempa di dalam diriku, sekali aku bisa sadar atas apa yang aku miliki maka detik itu juga aku bisa merobohkan kesedihan dalam diriku.Â
Judul : Tak Terdengar
Karya : Nindya Permata Yodi
Genre : DramaÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI