Sebentar ya Sederhana sekali kan ucapan itu? Sebentar ya… Juga sepertinya mudah diucapkan, bukan? Tak butuh waktu lama ataupun banyak tenaga. Namun pada kenyatan (yang saya alami) tidaklah demikian….
Siang itu saya pergi ke sebuah toko untuk membeli sesuatu. Sesampainya di sana rupanya telah ada pembeli yang datang duluan. Saya lihat pelayan toko tersebut memang hanya ada seorang. Saya pun menunggu dengan sabar menunggu giliran. Disitu ada beberapa buah kursi plastik yang kiranya disediakan untuk pembeli yang datang. Sejak saya datang dan duduk di kursi yang telah disediakan, tak ada sapaan yang keluar dari pelayan toko.
Sewaktu saya datang, si pelayan toko hanya mendongak sejenak dan bersitatap dengan saya barang sedetik -itupun tanpa ekspresi, tanpa senyum atau apapun- kemudian kembali sibuk melayani pembeli yang datang lebih dulu tadi. Sambil duduk menunggu, saya pun membalas beberapa sms yang masuk di HP saya. Beberapa kali si pelayan toko keluar masuk ke dalam sebuah ruangan di toko untuk mengambil sesuatu. Sambil membalas sms, saya pun sempat mengamati tingkah laku pelayan toko tersebut.
Suatu waktu, saat pelayan toko itu keluar masuk, kami kembali bersitatap dan akhirnya keluarlah juga ucapan tersebut, ucapan yang mungkin sudah lama saya tunggu… “sebentar ya mbak,” katanya sambil memberikan senyum- yang menurut saya, minimalis. Waduh… Saya pun memberi anggukan kecil tanda saya mengerti dan memang bersedia menunggu. Cukup lama juga saya menunggu. Untungnya waktu itu saya tidak sedang dalam keadaan terburu-buru. Dan akhirnya, saat si pembeli pertama sudah selesai dilayani, si pelayan toko pun beralih kepada saya…
Hmm… pernah mengalami hal sepert itu? Jujur, waktu itu (waktu awal kedatangan saya ke toko tersebut), saya merasa diacuhkan. Dalam hati, saya berpikir, apa salahnya mengucapkan kata-kata, “sebentar ya, mbak…” atau “tunggu sebentar ya mbak…” atau “tunggu sebentar ya, saya sedang melayani pembeli yang datang duluan.” Walaupun hanya sebuah ucapan sederhana, tapi mengandung makna yang tak terhingga.
Kata-kata sederhana yang membuat pembeli merasa dihargai, merasa dianggap ia ada, atau meminjam istilah orang Jawa, merasa di-uwongke, merasa di-orangkan. Keberadannya diakui dan memberi makna. Saya rasa, saya sudah mencoba bersikap sebagai pembeli yang baik. Datang ke sebuah toko baik-baik, dengan pakaian pantas pula -bukan dengan penutup kepala yang berlubang di bagian mata, yang menjadi tren di kalangan para begal- dengan niat baik pula. Tentunya saya sebagai pembeli yang datang ke toko bermaksud membeli sesuatu kan, atau bisa di istilahkan juga, mengantarkan rejeki kepada si pemilik toko. Bukankah begitu?
Maka paling tidak, ketika saya datang, saya pun berharap mendapat sambutan yang baik dari pemilik atau pelayan toko. Hey, bukankah pembeli adalah raja? Sebuah jargon sakti yang harusnya hafal di luar kepala dan terukir dalam di setiap hati penjual atau pemilik toko apapun maupun manapun!
Dari kejadian yang saya alami di atas, pada akhirnya, saya memang mendapatkan ucapan itu. Walau jedanya cukup lama dari awal waktu saya datang di toko. Saya rasa, sebuah ucapan itu adalah bagian dari etika pelayanan dari penjual atau pelayan toko. Mungkin saya terkesan melebih-lebihkan. Hanya sebuah ucapan saja dan ucapan sederhana, tapi merurut saya efeknya luar biasa. Kekuatan kata-kata.
Saya masih ingat pengalaman saya – kali ini pengalaman yang tak kan membuat hati sakit untuk dikenang- sebagai seorang pembeli di sebuah toko kecil beberapa waktu lampau. Si pelayan toko melayani dengan ramah dan penuh senyum, padahal barang yang saya beli tak banyak dan juga tak seberapa harganya. Dari awal saya datang saya disambut dengan ramah, membuat saya pun betah, hingga akhirnya sebelum saya berlalu dari toko kecil tersebut, si pelayan toko mengomentari sebuah pin bergambar smile yang saya pasang di tas saya, “pin-nya bagus mbak!” Entah itu komentar spontan yang keluar begitu saja dari mulut si pelayan toko, atau semacam trik untuk membuat pengunjung toko merasa senang, tapi yang jelas pada saat itu muncul sebuah gelembung rasa bahagia di dalam hati saya dan sempat terlintas dalam hati kecil saya bahwa menyenangkan sekali apabila saya bisa kembali ke toko ini lagi saat saya membutuhkan sesuatu yang dijual disini. Saya pun mengembangkan senyum manis saya sebagai balasan dan berucap, “terima kasih,” sebelum saya benar-benar berlalu dari toko itu.
Selain pengalaman dengan beberapa pelayan toko – baik yang membuat saya merasa senang atau dongkol – sebagai pembeli saya juga punya pengalaman dengan sesama pembeli yang tak tahu aturan.
Suatu saat saya pergi ke toko yang memang sudah laris manis yang ibaratnya dari buka sampai tutup tak pernah sepi pembeli, dan setiap kali mau beli disitu, pasti antri karena saking larisnya. Benar saja, waktu saya tiba, para pembeli sedang mengantri dengan sabar menunggu giliran untuk dilayani. Saya pun dengan tertib ikut mengantri. Nah, selang tak berapa lama, datanglah seorang pembeli lain yang langsung saja menyerosos… “mbak, mas… saya cari ini ada nggak… minta ini..itu..bla..bla…” dia menyebutkan barang-barang kebutuhannya yang mau dia beli tak peduli dengan tatapan tajam para pembei lain yang sedari tadi sabar mengantri. Nah, yang bikin nggondok lagi, kalo si pelayan toko atau pemilik toko malah menanggapi pembeli baru yang datang itu… karena (mentang-menatang) dia adalah pelanggan awet atau setia, atau karena udah kenal, atau karena ada unsur hubungan daran dan lain sebagainya…
Olaaalaa... nepotisme memang selalu ada dimana-mana di negeri yang beginilah… Hmm… waktu itu ada juga pembeli yang berani protes… “mbak saya kan yang duluan..” tapi yang bikin lebih mangkel lagi kalo pelayan tokonya juga ikut-ikutan bilang “maaf ya sebentar, ini udah langganan” atau alasan apalah… bikin hawa tambah puanasss saja… Hmm… masih mending kalo si pemilik toko atau pelayan menolak dengan halus walaupun sudah kenal atau biasa langganan di situ, “maaf ya ngantri dulu sebentar…”
Hmm, kalo memang ia pelanggan setia, okelah, bolehlah ia dapat pelayanan istimewa, datang kapan saja langung dilayani tak peduli sedang ramai atau sepi pembeli, tapi mungkin jangan sampai pembeli yang lain merasa dianak tirikan.. waduh.. Hal ini bisa disiasati dengan cara lain... mungkin belinya bisa lewat pintu belakang kek… atau apalah kek… Namun, kalau memang ingin dianggap sebagai pembeli yang baik dan beretika, harusnya juga bisa tahu diri, kalau sedang ramai ya kut mengantri walaupun udah bisa langganan atau beli disitu.
Kemudian saya juga ingin membahas sekilas tentang pemilihan toko… Jujur, kadang saya mencoba untuk mengutamakan mengunjungi toko-toko kelontong atau kecil-kecilan yang buka di rumahan untuk membeli barang keperluan sehari-hari jika jumlahnya tak terlalu banyak (kalo banyak ya mending ke grosir yang tentunya lebih murah bro…)
Niatan saya beli di toko-toko kecil milik orang-orang rumahan ya untuk membantu mereka saja, sebagai orang lokal atau yang dekat-dekat situ, daripada beli di toko-toko yang ‘smart’ atau di toko yang ulang tahunnya bulan ‘Maret’ itu :). Tapi, jujur lagi, saya sering juga merasa dikecewakan oleh toko-toko kelontong pinggir jalan sehingga akhirnya diri ini mau tak mau melarikan diri ke toko-toko Betasmart atau Indimaret.
Banyak hal yang membuat saya kabur ke toko ‘smart’ itu, mulai dari barang yang dicari di toko kelontong tidak ada, kualitasnya juga sudah menurun (expired date-nya mepet banget dengan tanggal sekarang) kemudian waktu lagi buru-buru, nyempetin diri berhenti di pinggir jalan, eh penjaga tokonya kagak ada entah ngelayap kemana padahal si pembeli ini lagi diburu waktu. Dipanggil-panggil sampai suara ini serak juga kagak nongol batang hidungnya. Hmm… Akhirnya karena gemes, kita pun tancap gas pindah ke toko yang ‘smart’ itu. Lha yang nambahin mangkel, waktu kita udah keburu tancap gas eh…penjaga tokonya datang sambil marah-marah menyumpah serapah…"lho katanya mau beli kok ga jadi gimana tho mbake ini… wooo…lhaa…"
Hmmm… akhirnya diri ini pun lebih merasa aman dan nyaman kalo kemana-mana dan butuh sesuatu, mending langsung menuju ke Betamart atau Indimaret saja, daripada jadi mangkel di sepanjang perjalanan. Datang ke toko, baru buka pintu saja langsung disambut dengan ramah, “selamat datang di toko kami, selamat belanja…” trus waktu bayar di kasir (yang kasirnya came-caem en cakep-cake ntu..ehem..) disambut ucapan manis, “terima kasih, ada lagi yang lain?” lalu pulangnya, sambil menenteng barang belanjaan dengan hati puas, diiringi kembali dengan ucapan, “terimakasih sudah berbelanja di toko kami… silahkan datang kembali..”
Wuih… serasa raja betulan, man… hohoho… Begitulah. Tulisan ini berawal dari sebuah ucapan sederhana yang sebetulnya sarat makna, hingga dapat menimbulkan sebuah rasa yang dapat meningkatkan laba… :D
Ya, hanya sebuah ucapan singkat saja… “Sebentar ya, mas..mbak, dik, pak..bu.., om, tante…” Tapi itu artinya kehadiran kita dihargai, dipedulikan bahwa kita adalah calon pembeli (raja) yang akan membawa keuntungan pada toko. Apalagi bila ucapan itu diringi senyuman manis dan wajah ramah sang pelayan toko (apalagi kalo pelayannya cakep bak artis) Wuaa…pasti kita bakal rela antri walaupun harus menunggu luammaa….
Jadi jangan diabaikan begitu saja yaaaaaaa……
Mari budayakan ngantri, budayakan pelayanan bersahabat, menuju Indonesia hebattttt!!!!
Maret 2015
Semoga bermanfaat,
Salam hangat,
Nine Nindya♥
:) sumber wawasan:kekuatan kata-katabudaya mengantrietika penjual dan pembeli*gambar diambil dari adlihibatulfarizi.com/tika-nabila/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H