Mohon tunggu...
Nindya Karina Indraswari
Nindya Karina Indraswari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa FKG Universitas Airlangga

~

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Krisis Lingkungan dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan, Refleksi dari Perspektif Pribadi

28 November 2024   11:35 Diperbarui: 28 November 2024   11:36 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dari perspektif ekonomi, pembangunan sering kali dipandang sebagai sinonim dari industrialisasi dan urbanisasi. Namun, paradigma yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi melalui eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran justru menjadi akar dari banyak masalah lingkungan yang kita hadapi saat ini.

 Industrialisasi yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan telah menyebabkan pencemaran udara, air, dan tanah, serta hilangnya lahan pertanian produktif. Saya teringat sebuah kunjungan ke kawasan industri di mana langit selalu tampak kelabu, bukan karena awan hujan, tetapi karena polusi dari pabrik-pabrik di sekitarnya.

 Pemandangan ini menuntun saya untuk mempertanyakan ulang definisi dari "kemajuan." Apakah pembangunan ekonomi yang mengorbankan keberlanjutan ekologi dapat dianggap sebagai kemajuan yang sejati? Apakah kita rela mengorbankan kualitas hidup generasi mendatang demi keuntungan ekonomi jangka pendek?

Di sisi lain, krisis lingkungan juga mencerminkan kegagalan dalam pengelolaan kebijakan di berbagai tingkatan. Kebijakan lingkungan yang efektif harus mengintegrasikan aspek keberlanjutan dalam seluruh sektor pembangunan, mulai dari perencanaan kota, pertanian, hingga industri. 

Namun, dalam kenyataannya, implementasi kebijakan yang ada sering kali tidak konsisten, kurang terkoordinasi, atau bahkan diabaikan demi kepentingan ekonomi tertentu. Konflik kepentingan antara pelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi sering kali menjadi hambatan utama dalam mengimplementasikan kebijakan berkelanjutan. 

Pengalaman ini mengingatkan saya pada berbagai kasus di mana aktivis lingkungan berjuang untuk menghentikan pembalakan liar atau pembangunan lahan industri di kawasan hutan lindung, namun sering kali berhadapan dengan tekanan dari pihak-pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik lebih besar.

Dampak dari krisis lingkungan juga meluas ke ranah sosial dan budaya. Perubahan iklim yang menyebabkan ketidakpastian musim tanam telah berdampak signifikan pada sektor pertanian di berbagai daerah. Banyak petani yang kesulitan menentukan waktu tanam dan panen, yang akhirnya mengurangi produktivitas mereka. 

Dalam banyak kasus, kegagalan panen ini memaksa mereka untuk beralih ke pekerjaan lain atau bahkan pindah ke kota-kota besar, yang sudah menghadapi tantangan sosial ekonomi seperti pengangguran dan kemiskinan.

 Selain itu, budaya lokal yang erat kaitannya dengan alam juga mulai memudar seiring dengan hilangnya lingkungan alami. Tradisi yang mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam kini mulai terlupakan, digantikan oleh pola hidup konsumtif yang cenderung mengabaikan keberlanjutan ekologi.

Menyadari besarnya tantangan ini, tanggung jawab untuk menjaga lingkungan tidak hanya dapat dibebankan kepada pemerintah atau aktivis lingkungan saja. Setiap individu memiliki peran penting untuk berkontribusi, mulai dari perubahan pola konsumsi sehari-hari hingga partisipasi aktif dalam kampanye lingkungan. 

Misalnya, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menghemat energi, dan beralih ke transportasi ramah lingkungan adalah langkah-langkah sederhana yang bisa kita ambil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun