Mendung menghiasi langit kota kembang sore itu, ada yang rileks, ada juga yang jalan terburu-buru. Sebelum hujan rintik menghantam, kumpulan tenaga terdidik di salah satu sekolah negeri Kota Bandung itu menyempatkan diri untuk bertukar senda sembari menyantap jajanan dari gerobak pinggiran di sudut pertigaan bangunan sekolah. Dibalik tawa mereka, ternyata tersembunyi keluh-peluh akibat tuntutan tata peraturan para pemangku kepentingan.
Naura, yang sedang duduk di tahun kedua SMA, menjadi salah satu objek sasaran dari sistem baru yang dibuat penguasa. Sistem Zonasi namanya. Sistem yang sudah eksis sejak lima tahun terakhir ini terus konsisten merebahkan beragam pro dan kontra. Menjadi salah satu yang terdampak, Naura menyayangkan keberadaan sistem zonasi yang hingga saat ini masih eksis menunjukkan batang hidungnya.
“Sistem zonasi itu katanya untuk pemerataan. Tapi kalau yang dilihat sekarang sih ya dari kan di setiap sekolah, cara mengajarnya pun beda gitu jadi hasilnya pun beda terus citra citra sekolah di masyarakatnya pun ada yang udah tinggi banget yang masih rendah banget,” kata Naura ketika ditanya tentang keluhannya atas Sistem Zonasi.
Menurutnya, Sistem Zonasi memiliki tujuan yang cukup mulia karena digadang-gadang menjadi kunci utama menuju pemerataan pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, langkah ini tidak diimbangi dengan pemerataan dari segi kualitas tenaga pengajar serta sarana dan prasarana di sekolah. Alhasil, citra generik sekolah yang melekat di telinga masyarakat pun tetap menjadi andalan para calon siswa dalam menentukan capaian sekolah impian mereka.
Selain ketimpangan kualitas tenaga pengajar dan sarana prasarana sekolah, keluhan dari mereka yang terdampak juga ditujukan dari lahirnya kecurangan-kecurangan segelintir pihak demi dapat duduk di sekolah idaman. Sistem Zonasi pun menunjukkan mereka yang punya padi segala menjadi (baca: orang ‘punya’ dapat mencapai apa yang diinginkannya). Naura pun turut menjadi saksi atas fenomena kecurangan ini.
“Tujuannya buat pemerataan sih kurang tepat karena masih ada orang yang bisa mindahin kk (kartu keluarga) untuk masuk jalur zonasi. Jadi yang pinter tetep kesenggol,” ujarnya.
Keluhan-keluhan atas pemberlakuan sistem yang masih terbilang baru ini pun tidak hanya dirasakan Naura saja. Kegagalan atas ujaran dalam memenuhi tujuan dari Sistem Zonasi yang ingin dicapai ego penguasa ini memang telah banyak memakan korban.
Berdasarkan survei yang kami lakukan guna mengetahui kelayakan sistem zonasi untuk diberlakukan pada PPDB periode 2020-2022, ada 48,1% responden yang mengaku tidak merasa puas atas penerapan Sistem Zonasi, sedangkan 27,8% lainnya merasa sangat tidak puas, di sisi lain sebanyak 16,7% merasa sudah puas dan sisanya sudah merasa sangat puas.
Tidak dapat dipungkiri, ketika berbicara tentang pemerataan kualitas sekolah yang baiknya didahulukan, mayoritas dari yang terdampak pun mengaku justru ketimpangan adalah apa yang lebih mendominasi mereka. Alma, salah satu dari sekian banyak yang terdampak turut memberikan gagasannya atas balada dibalik penerapan sistem ini.
“Kualitas itu jauh dari rata, makanya nggak ada yang bagus, kalau yang di sekitar rumah aku tuh emang kurang bagus terbilangnya, jadi sengaja ngambil yang bagusnya aja walaupun jauh gitu maksain kan gimana pun butuh yang ini ya biar bisa berkembang juga.” kata Alma yang harus berjuang keras melalui jalur prestasi karena sistem zonasi telah memupuskan harapannya dalam bersaing adil dengan calon peserta didik lain.