Dilan dan Milea punya kisah di SMA, pun Rangga dan Cinta, pun lusinan muda-mudi lain. Masa SMA, mau dilihat dari era manapun, akan selalu menyimpan kenangan tersendiri bagi tiap-tiap individu. Masa peralihan sekaligus persiapan sebagai entitas dewasa dengan segala ancang-ancang masa depan dimulai ketika memasuki masa SMA.Â
Namun bagi sebagian orang, romansa tidak cukup memenuhi memori SMA mereka. Bersenang-senang kecil dengan sebaya memang ada, tetapi tuntutan pendidikan lebih masif. Bukan masalah tugas-tugas yang tak kunjung habis saja, tetapi juga ketidaktahuan akan esensi melakukan seluruh tugas tersebut.Â
Citra--bukan nama asli--seorang siswi di salah satu SMA swasta di Jakarta membagikan kisahnya sebagai salah satu dari sekian banyaknya pelajar yang memanggul beban tugas tanpa benar-benar mengerti esensi dari tugas tersebut. Ketika dirunut, tau-tau akar permasalahan Citra ini adalah sistem zonasi PPDB.Â
"Sekolahku yang sekarang bukan aku banget, kak." Citra mengaku, ia menjadi salah satu korban sistem PPDB. Saat masanya menjadi peserta PPDB, sistem PPDB yang berlaku mengurutkan persentase keberhasilan diterima di suatu sekolah negeri berdasarkan jarak rumah dengan sekolah dan usia.
Malangnya bagi Citra, ia tidak memenuhi dua kriteria tersebut untuk bisa tembus menjadi murid di sekolah impiannya. Alhasil, ia terpaksa masuk ke sekolah swasta yang masih bisa terjangkau dengan kemampuan ekonominya. "Bukan sekolah yang aku impikan," aku Citra.Â
"Sekolah swasta (tempat) aku (bersekolah) ini juga bukan swasta yang bagus banget, biasa-biasa aja. Jadi fasilitasnya juga kurang," ungkap Citra.Â
Selain dari absensi kelengkapan materi pelajaran (buku-buku di perpustakaan) dan kondisi lapangan yang tidak memadai, Citra merasa kebutuhan akademiknya tidak terpenuhi dengan maksimal. "Pengajarnya juga males-malesan gitu ngajarnya," jelas Citra sembari tertawa kecil kala itu.
Lebih lanjut, Citra mengaku proses pembelajaran seringnya tidak berjalan sebab pengajar absen dari kelas. "Masuk kelas juga cuma ngerjain soal-soal aja, dianya nggak nerangin (materi)."Â
Citra mengaku, ia seringnya tidak tahu esensi dari kegiatan pembelajaran yang dijalaninya. Tugas-tugas yang menumpuk itu terasa seperti menekan dari belakang, yang mana ia hanya dapat merasakan tekanannya tanpa benar-benar tahu hal apa yang menekannya. "Belajarnya cuman gitu-gitu doang, jadi apa yang dipahami?"
"Zonasi ini 'kan sebenarnya (sistemnya) baru banget pas zaman aku dan jadi nggak adil banget. Masa umur yang lebih tua (bisa) masuk (sekolah) negeri dengan nilai yang biasa-biasa aja, sedangkan yang nilainya bagus malah dibuang," ungkap Citra. "Udah usaha nih, belajar, terus kehalang umur dan domisili."
Hal tersebut disayangkan karena faktanya hak Citra (dan ratusan pelajar lainnya) mendapat pendidikan yang memadai terhalang oleh sistem yang kurang masuk akal. Seyogyanya sistem zonasi PPDB memang bertujuan untuk pemerataan sekolah, baiknya pemerataan mutu sekolah juga sudah dipastikan.
"Aku pengin sekolah di sekolah negeri," kata Citra ketika ditanya pengaruh sistem zonasi ini terhadap pendidikannya sekarang.
Pada akhirnya, Citra merasa nasibnya saat ini bersekolah di sekolah swasta sama sekali tidak adil. Jika ia bisa bersekolah di sekolah negeri, walaupun ia tahu fasilitas dan mutu pengajar di sekolah-sekolah negeri pun sama sekali belum merata, setidaknya ia tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk akses pendidikan. Ia juga meyakini, sistem belajarnya bisa lebih teratur jika saja ia bisa menjadi pelajar di sekolah negeri.
Namun apa daya, umur dan domisilinya tidak mendukung. Atau, apakah regulasi yang tidak memfasilitasi hak Citra (juga pelajar-pelajar lainnya)?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H