Mohon tunggu...
Nindira Aryudhani
Nindira Aryudhani Mohon Tunggu... Full time mom and housewife -

Full Time Mom and Housewife

Selanjutnya

Tutup

Money

Dana Haji dan Analogi Ibu Menyusui

1 Agustus 2017   01:03 Diperbarui: 1 Agustus 2017   21:56 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon, seorang ibu yang sedang menyusui adalah orang yang sangat rakus. Dalam arti, porsi makannya sangat banyak. Sebaliknya, mereka sangat cepat lapar dan tak jarang mereka tetap kurus. Bahkan terlihat lebih kurus dibandingkan sebelum punya anak.

Mungkin tidak semua ibu demikian. Namun, banyak pula yang berpengalaman bahwa saat menyusui badannya memang habis, alias jadi kurus sekali. Terlebih jika bayinya laki-laki. Taraf "rakus"-nya si ibu, bisa sampai "memalukan". Saking banyak dan seringnya makan, tapi tetap kurus. Karena, katanya bayi laki-laki itu lebih kuat juga menyusunya.

Lantas, apa kaitannya dengan dana haji? Begini, santer belakangan hari terdengar bahwa dana abadi umat yang bernama dana haji tersebut hendak "dipinjam" oleh pemerintah untuk membiayai infrastruktur. Ini menunjukkan bahwa pemerintah memang tengah benar-benar butuh dana segar. Mengingat, nominal utang negara saja sudah mencapai Rp 4000 T. 

Sebuah angka yang sudah tidak terbayang lagi berapa banyak angka nol-nya. Hanya saja yang kemudian membuat publik bertanya, ke mana larinya utang sebanyak itu, kok masih ingin melirik dana haji. Padahal di sisi lain, pajak juga sudah semakin bermacam-macam jenisnya. Tidakkah ini bagai kerakusan yang berlebihan terhadap setiap onggokan dana segar, atau apa pun yang potensial menjadi sumber uang?

Secara hakikat, kondisi ini mirip dengan peristiwa ibu menyusui tadi. Mau makan sebanyak apa pun, si ibu akan selalu mudah lapar dan membutuhkan makan segera. Padahal wujudnya, dirinya tetap kurus. Sama dengan negara ini, mau utang, pajak, juga kenaikan tarif segala kebutuhan publik (BBM, listrik, sembako, bumbu dapur, dsb) sebanyak apa pun, nyatanya pemerintah akan selalu "lapar" akan dana segar. 

Akan tetapi, apa iya pemerintah itu posisinya benar-benar sebagaimana ibu menyusui tadi? Bagi seorang ibu yang menyusui, sudah jelas kepada siapa hasil metabolisme makanan yang ia asup. Yakni kepada bayinya. Sementara pemerintah? Selama ini, infrastruktur hanya bagai dalih panas yang juga akan mudah menguap sewaktu-waktu, di kala rakyat kian hari sadar dan mampu membelalakkan matanya. Artinya, aktualisasi dana tersebut bagi rakyat juga patut dipertanyakan. 

Sudah cukup rasanya pencitraan negara akan kesahajaan sang pemimpin. Tanpa perlu bertopeng lagi, ke mana sejatinya larinya dana-dana hasil utang, pajak, dan kumpulan dana kenaikan tarif kebutuhan publik tersebut? Yang bahkan seorang secerdas Ibu Menteri Keuangan saja bingung menjawabnya.

Supaya tidak bingung, mungkin ini sekedar saran. Cobalah pemerintah lebih mawas diri, sadar diri. Jangan perlakukan negara seperti ini. Utang menggunung di balik penjarahan sumberdaya alam dan mineral atas nama Undang-undang penanaman modal asing juga minerba itu sungguh cacat logis. Janganlah alasan dana haji untuk infrastruktur ini menjadi polesan. Yang ketika masyarakat menuntut hak-nya sebagai pihak yang wajib diurus oleh negara, para pejabat malah merespon dengan pernyataan-pernyataan yang tak kalah cacatnya. Tanam cabai sendiri-lah, cabut meteran listrik-lah, potong gaji PNS-lah, main gerebek pabrik beras-lah, APBN habis-lah, dan "lah-lah" yang lain.

Inikah negara? Jika semua bisa dilakukan sendiri oleh rakyat, maka apa peran negara? Jika seorang bayi sudah mampu mencari makan sendiri, untuk apa ia punya ibu yang mengayomi dan bertanggung jawab akan diri si bayi yang bersangkutan? Jangan dikira kemudian si bayi ini menjadi ajaib, bisa apa-apa sendiri. Jangan dikira rakyat negeri ini semuanya tukang sulap, jadi bisa membuat bensin sendiri, listrik juga bikin sendiri. Terus lagi, di pekarangannya nanti tanam sendiri cabai, padi, sayur-sayuran, bumbu dapur, dan rempah-rempah.

Tapi giliran rakyat sudah menabung sendiri untuk cicilan dana haji yang diri mereka masih masuk waiting list keberangkatan, tahu-tahu malah dana tersebut "dilirik" oleh negara. Yang bahkan Kementerian Agama sudah memberikan lampu hijau untuk menggunakannya, dengan kemantapan bahwa penggunaannya tak perlu izin jama'ah.

Tidakkah ini seperti ibu yang main ambil begitu saja uang tabungan anaknya demi dapur yang mengepul, disamping utang dan pajak yang menggunung? Layakkah sikap ibu yang demikian? Hanya ibu yang mata duitan sajalah yang tega berbuat seperti itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun