Untuk menghindari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang semakin melambat, pemerintah telah memutuskan untuk membuat kebijakan alternatif yang diharapkan akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga, seperti insentif pajak, pembebasan tarif, serta penyesuaian aturan bersama  produsen dengan tujuan agar harga-harga barang dan jasa dapat dijangkau oleh daya beli masyarakat. Selain itu, pemerintah juga memberikan stimulus untuk para pelaku usaha baik usaha kecil maupun besar agar dapat terdorong untuk bergerak dimasa pandemi. Hal ini dilakukan dengan harapan agar konsumsi rumah tangga semakin meningkat.
Kurang lebih 86,51% (sekitar Rp176,38 triliun) dari total dana perlindungan sosial telah terealisasi. Pendistribusian perlindungian sosial hingga kuartal III dinilai mampu mengentaskan 3,43 juta orang dari kemiskinan, terutama pada masyarakat kalangan bawah yang dinilai mendapat bantuan sosial paling banyak. Konsumsi rumah tangga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dengan adanya program perlindungan sosial ini, tingat kemiskinan yang diprediksi akan mencapai 10,96%, dapat ditekan sampai 9,69%. Dengan hal ini dapat dikatakan bahwa program perlindungan sosial yang diberikan pemerintah sangat efektif untuk membantu mempertahankan bahkan meningkatkan daya beli masyarakat kalangan bawah sehingga dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga.
Beberapa pihak menilai pemerintah hanya fokus memberikan bantuan kepada masyarakat kalangan bawah, sehingga bantuan yang diberikan kepada masyarakat kalangan atas semakin berkurang. Padahal dampak yang ditimbulkan dari virus corona terhadap seseorang tidak melihat latar belakang ekonomi seseorang tersebut. Banyak pengusaha yang gulung tikar akibat merebaknya virus corona ini, banyak pengusaha yang kekurangan modal karena lesunya daya beli masyarakat sehingga produk mereka terbengkalai, banyak perusahaan yang terpaksa mengurangi karyawannya karena tidak mampu membayar upah, dan masih banyak lagi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat kalangan atas. Sehingga diharapkan pemerintah dapat membuat kebijakan yang seadil-adilnya bagi masyarakat yang perekonomiannya terkena dampak dari virus corona entah dari kalangan bawah ataupun kalangan atas.
Meskipun dinilai sudah efektif dalam meningkatkan konsumsi rumah tangga, pendistribusian perlindungan sosial tidak sepenuhnya tepat sasaran. Dibeberapa daerah, pemerintah tidak menggunakan data kependudukan atau data kemiskinan yang terbaru dalam mendistribusikan dana perlindungan sosial. Alhasil banyak masyarakat yang dirasa sudah mampu masih mendapatkan dana bantuan, sedangkan yang dulunya kaya tetapi sekarang tidak mampu, tidak mendapat bantuan. Selain kasus tersebut, ada juga kasus di mana seseorang sudah meninggal dunia, tetapi masih terdata mendapatkan bantuan, hal ini menimbulkan perdebatan dalam masyarakat, karena masih banyaknya orang yang belum menerima bantuan tersebut.
Hal di atas membuktikan bahwa kurangnya kesiapan pemerintah dalam mendistribusikan dana perlindungan sosial ini. Kurang siapnya pemerintah juga terlihat pada ketidakjelasan data pemetaan penerima bantuan sosial. Pemerintah tidak memberikan penjabaran pada sasaran penerima dana bantuan tersebut, entah itu hanya untuk masyarakat miskin, atau seluruh masyarakat yang terdampak oleh Covid-19 ini, karena pada dasarnya tidak hanya perekonomian rakyat miskin yang terdampak Covid-19. Memang tidak dapat dipungkiri jika pemerintah melakukan kesalahan, karena selain dituntut cepat pemerintah juga harus mencocokkan data secara tepat dan akurat, padahal untuk meneliti data puluhan juta membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Tidak hanya sampai di situ, dalam kondisi masih belum meratanya dana bantuan sosial dari pemerintah kepada masyarakat, adanya kasus korupsi dana bantuan sosial Covid-19 yang dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari P. Batubara membuat masyarakat semakin terpukul. Beliau yang seharusnya menyelesaikan masalah pemerataan dana bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat, tetapi malah menambah masalah dengan mengambil hak rakyat dengan cara korupsi dana bantuan sosial tersebut. Pendistribusian dana bansos dalam bentuk sembako memang rawan terjadi penyelewengan. Penyelewengan ini biasanya dilakukan dengan adanya pihak yang meminta kick back atau fee, dan nilai sembako tidak sesuai dengan nominal bantuan yang seharusnya diberikan. Mensos Juliari mengkorupsi dana bantuan sosial sebesar Rp17 miliar dengan cara mengambil sebesar Rp10.000 dari setiap paket sembako yang hanya sebesar Rp300.000, padahal dari tiap Rp10.000 yang ia ambil banyak harapan orang yang benar-benar membutuhkan di dalamnya.
Hal tersebut tentu menjadi pukulan terhadap pemerintah. Selain itu, kasus ini harus menjadi evaluasi, tidak hanya pendistribusian dana bantuan, tetapi seluruh kinerja yang dilakukan pemerintah. Pemerintah harus sangat berhati-hati dalam melaksanakan sebuah kebijakan, yang mana sangat mempengaruhi kesejahteraan serta kepercayaan masyarakatnya. Dalam hal ini pemerintah harus tegas dan awas. Tegas berarti berani memberikan hukuman yang seberat-beratnya terhadap seseorang yang mengambil keuntungan di tengah masa sulit bangsa dan negara karena pandemi sekarang ini. Sedangkan awas, berarti pemerintah harus selalu memberikan pengawasan dan pemantauan entah itu pendistribusian dana kepada masyarakat, atau pelaksanaan kebijakan lainnya agar tidak terjadi penyelewengan di tengah jalan, sehingga tujuan baik dari sebuah kebijakan akan terwujud.
Untuk itu, diharapkan pemerintah mendistribusikan dana bantuan sosial dalam bentuk uang tunai saja, karena dinilai lebih mudah diawasi, ditelusuri, dan diaudit dengan jejak transaksi yang ada. Sehingga masyarakat tidak dirugikan dengan adanya korupsi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, dengan diberikan uang tunai, dianggap lebih efektif dalam meningkatkan daya beli masyarakat, yang akan meningkatkan konsumsi rumah tangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H