Bukan saya senang dengan adanya pandemi Covid-19 yang menjadi ihwal terbitnya Perpres larangan mudik lho ya. Tentu saja saya sedih dan berduka untuk para korban dan semua yang terdampak, seraya tak henti berdoa agar wabah ini cepat berlalu. Tapi, setelah menjalani tiga minggu Ramadan bernuansa corona begini, saya yang awalnya banyak bermuram durja akibat fix memecahkan rekor ala Bang Toyib 3 kali puasa 3 kali lebaran tidak pulang-pulang, mendadak dapat ilham bahwa hari raya Lebaran nanti akan menjadi Lebaran paling peaceful. Setidaknya bagi saya pribadi, dan semoga buat kalian juga.
Kok bisa? Ya jelas akan jadi Lebaran ter-peaceful toh kalau tanpa rentetan pertanyaan teror kapan lulus, kapan nikah, kapan punya anak, dan kapan kurusan?
Ngaku deh, berapa banyak dari kalian yang saat mudik Lebaran merasa happy banget namun juga terselip perasaan deg-degan dan parno karena terbayang pertanyaan-pertanyaan kepo dari keluarga besar, tetangga, teman-teman lama, bakul sayur keliling langganan ibumu, sampai teman-teman kelompok paguyuban seni bapakmu? Yuk sini kita gandengan.
Di Indonesia, Lebaran sudah identik dengan acara kumpul-kumpul dilanjut komen-komen. Pertanyaan macam "Hei kamu apa kabar? Kok belum lulus sih, betah amat kuliahnya," "Wah ponakan bude makin ganteng. Piye sudah ada calon belum? Kapan mau nikahnya", dan "Wow kamu kok gendutan sih sekarang?" sudah pasti bergaung mengelus-elus gendang telingamu. Ha mbok yakin aku!
Saya teramat sangat yakin bahwa kalian lelah dijejali pertanyaan super destruktif macam di atas. Tidak peduli laki-laki atau perempuan, pertanyaan-pertanyaan itu sama menusuknya. Apalagi kalau kalian sudah menikah macam saya, penanya akan makin kreatif mengkreasikan pertanyaan dibubuhi pujian berkedok nyinyiran. "
Wah hebat ya masih muda udah bikin rumah sendiri. Tapi kok belum punya mobil? Beli dong, biar bisa dibawa keliling gini pas pulang kampung," atau " Wah suamimu kok kurusan, kamu pasti males ngurus suami ya,"Â sampai pertanyaan berhukum wajib fardu ain bagi pasangan muda seperti saya dan suami, "Kapan punya anak nih? Udah 2 tahun lebih lho kalian nikah, jangan nunda-nunda."Â Busyeeeet, hapal banget buk sama anniversary orang lain!Â
Mudik tahun ini bagi saya dan suami memang sangat ditunggu. Setelah 2 tahun absen karena kami merantau sekolah ke luar negeri dan hanya berlebaran via video call dengan keluarga di tanah air, tahun ini kami sudah heboh dari awal tahun dengan rencana mudik. Setelah larangan mudik officialy diterbitkan, saya njogrok desperate berhari-hari meratapi nasib gagal mudik.Â
Baru setelah mewek-mewek bombay, saya sadar kalau Tuhan dengan begitu mencengangkannya ternyata telah menjawab doa yang pernah saya panjatkan bertahun lalu (serius!): "Ya Allah, hamba mohon, buatlah mingkem orang-orang kepo pas Lebaran di rumah nanti. Jangan ada yang nanya kapan hamba nikah dan kenapa hamba makin lama bodinya kayak kendi ya Allah. Aamiin."
Ini juga mungkin doa jutaan kaum jomblo, kaum kuliah gak lulus-lulus dan kaum bodi melar lain di luar sana. Juga doa banyak pasangan menikah lain yang belum dikarunia anak dan atau yang belum mapan secara finansial. Anyway, saya juga agak yakin kalau doa itu sebenarnya doa semua orang Indonesia yang melek moral sih.
Hubungan sosial kolektif khas masyarakat Indonesia, khususnya rural community yang hidup di daerah perkampungan memang sangat indah. Pernah merasakan hidup di negara yang masyarakatnya sangat individualis benar-benar membuat saya bersyukur karena saya terlahir sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Masyarakat yang tetap melestarikan budaya komunal dan menjadikan karakter masyarakatnya memiliki hubungan dekat, saling kenal satu sama lain dan cenderung mengutamakan kepentingan golongan dibanding kepentingan pribadi.
Namun, ada jeleknya juga. Budaya ini lantas membuat banyak orang kebablasan melangkahi area privasi orang lain dan gemar mencampuri urusan yang bukan urusannya, seolah hajat hidup orang adalah hajat hidupnya juga. Pertanyaan-pertanyaan kepo yg dijabarkan di atas adalah bukti nyatanya.