Mohon tunggu...
Fiksiana

Bapak

30 Juni 2018   17:03 Diperbarui: 30 Juni 2018   17:16 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku banyak belajar arti "pengorbanan" dari Bapak. Bukan dari teori yang dipaparkannya namun dari kisah hidup yang ditorehkannya. Kusaksikan sendiri saat ia lebih memilih menderita secara fisik untuk melindungi mental kami anak-anakNya.

"Kau Bodoh, kalau Bapak dan Ibu bercerai, kau pikir kau akan jadi apa nanti?", jawabnya tegas saat ku anjurkan dia menceraikan Ibu. Aku tak tahan melihat suasana hari itu, Ia dipukuli oleh Ibu yang saat itu punya masalah dengan pikirannya. Hal itu sudah kesekiankalinya, Ia dipukul tanpa alasan yang jelas.

Ibu menderita gangguan psikosis saat aku berumur 2 tahun, Ia sempat sembuh setelah rutin meminum obat dokter ketika aku mulai memasuki bangku sekolah. Sialnya, 15 tahun setelahnya, saat Ia memutuskan untuk tidak meminum obat itu lagi, masa kelam itu kembali terulang. Gangguan psikosisnya kembali, Ia sering berhalusinasi dan berdelusi, merasa tidak aman, curiga dan selalu mendengar bisikan aneh. Banyak orang yang dianggapnya sebagai ancaman dan Bapak ku pun tak luput dari bagian halusinasi dan delusi itu.

Saat itu Ibu sangat membenci Bapakku, menuduhnya berselingkuh, memiliki kekuatan gaib dan tuduhan tak masuk akal lainnya. Bapak sering dipukuli saat halusinasi dan delusinya mengulah. 

Anehnya Ibu tak pernah berpikiran aneh jika ini menyangkut tentang anak-anaknya. Ibu tampak normal dan sehat jika berkomunikasi dengan kami. Kondisi ini akhirnya membuat aku geram dan memberanikan diri untuk menganjurkan mereka berpisah.

Anjuran tolol yang diresponnya dengan nada suara tinggi namun penuh kasih. "Itu bukan bukan ibu mu, dia hanya sedang sakit. Bapak tidak apa kalau hidup tanpa Ibu kalian, tapi bagian dengan kalian?" katanya. Aku terdiam tak bisa berbicara apa-apa, perceraian pikirku adalah satu-satunya cara untuk membebaskan kami dari derita halusinasi dan delusi Ibuku.

Aku malu pada diriku yang egois, berpikiran pendek, dan menyerah dengan keadaan. Tak ku pikirkan dampak yang lebih serius dari anjuran ku itu. Mental, bagaimana mental kami anak-anaknya jika tumbuh tanpa kasih sayang dari keluarga yang utuh? Itu tak sempat terpikir oleh ku, karena ku dibutakan kemarahan akan kondisi saat itu.

Ku belajar tentang pengorbanan saat itu, melihat Bapakku yang dengan sabarnya menghadapi Ibuku. Tak peduli berapa kali pun Ia di pukuli, Ia tidak mau berpisah dengan Ibu, Ia memilih menderita disampingnya agar kami tetap mendapatkan perhatian lengkap seorang Bapak dan Ibu.

5 bulan berlalu, pengorbanannya berbuah manis. Ibu akhirnya sembuh dengan berbagai pengobatan yang dijalaninya. Ibu sehat kembali, kami anak-anaknya tak kurang kasih sayang sedikitpun. Mental kami yang nyaris terancam waktu itu kini terbentuk menjadi pribadi-pribadi yang berani berkorban, berkat Bapakku.

Sedikit cerita tentang penyakit ibuku. Sebelumya Ibu sangat sehat, semangat, penuh cinta sama seperti semua ibu pada umumnya, ia bahkan punya selera humor yang memikat. "Ini karna kita melawan opung itu, yang merasuki ibu mu. Ia ingin Ibumu menjadi dukun, dan ayahmu menolaknya dengan keras, dan roh jahat itu terus mengganggu ibumu", cerita tanteku dengan suara penuh getar. "Non-sense" jawabku pelan.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun