Mohon tunggu...
ninja berkarya
ninja berkarya Mohon Tunggu... -

Tempat berkumpulnya karya para penulis sastra yang tergabung di dalam komunitas Ninja Berkarya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi - Puisi ninbera Edisi 5 : Olan Sanseviera

28 Januari 2012   07:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:21 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KABUT

Aku lempar kulit wajahmu setelah suara-suara yang tak kukenali kau perdengarkan. Separuh dunia menyumpal kupingmu dengan pujian. Hingga malam yang menatapku begitu lapar. Aku melihat penari erotis. Menggelepar di antara gigi-taringmu. Lalu menukarkan tubuhmu pada penyanyi wanita tanpa penutup dada. Taringmu itu sungguh menyadarkan batu-batu. Meluluhkan keyakinan sungai yang mengaliri nafas langit di kotamu. Kota yang menjadi gelap dan abu-abu oleh tarian. Tarian bertaring buat hati anak-anak kita suatu saat.

Sungguh jangan mendekat kepadaku. Wahai kabut. Dan biarkan kesepian itu menjadi bukit-bukit. Seorang perempuan bersembunyi kelak di setapak jalan menuju puncaknya. Sungguh jangan menari di depanku. Wahai kabut. Tutuplah matamu agar gelap yang kupandang tak lagi beranjak. Dan hitam akan tahu kemana ia bertolak. Nun jauh di sana para pesiar berangkat memuja liukanmu. Di pucuk paling kelabu. Butìran keringatmu akan menghitamkan langkah-langkah jerami. Jerami yang kuikat lalu kubakar. Kemudian membakar rambutmu yang tergerai. Api yang menyala adalah rintihan nurani yang tanpa engkau sadari.

Engkau menari dalam lumpur hitam. Tapi sorak-sorai para penonton begitu sangat engkau inginkan. Aku tetap berdiam dalam lubang doa-doa lebam. Berharap tuhan kita adalah tuhan yang esa. Tuhanku adalah tuhan yang tiada. Dan tuhanmu (barangkali) dirimu sendiri. Kita tak dapat meminum anggur di tempat yang sama. Karena anggurmu berputar di meja judi, atau bersidekap di kamar pencuri bahkan (mungkin) bersenyawa dengan senyum mucikari. Dan musik yang engkau gandrungi makin mahir menggali ceruk nestapa di luka dunia.

Sungguh aku tak ingin menikam jantungku dengan birahi yang membara di ujung malam yang kau genggam. Aku dan engkau selalu berselisih tentang bintang, tentang purnama yang engkau miliki di matamu. Dan aku berujar matamu tak dapat memiliki purnama. Tapi tidak ada yang dapat memiliki sebiji padi pun hakikatnya. Angin merajuk pada pelukmu agar jalan hidupmu melurus. Tetapi engkau tetap merajut sebuah tarian, meraut malam menjadi kepingan kebodohan. Aku memelepas ikatan hati untuk itu. Aku takut wajahmu menulari dinding ; menempel di semua kamar anak remaja. Dan aku pun takut tarianmu mengetuk pintu sekolah, lalu merasuki hati orang-orang yang alpa. Menjauhlah dari negriku wahai kabut. Benamkam erotisme di tubuhmu.

Cirebon, 13 Oktober 2011.

…

I

Suatu senja di
pinggir sawah,
rumput-rumput ini
masih sisakan
tempat dudukmu.
Lima tahun lalu
sebotol vodka
menampung
kesedihanmu.
Puntung rokok, dan
lebamnya matamu
bersetubuh
di bawah gerimis.
Jejakmu kini hanya
tanya. Kabut yang
menyimpan merah
pipimu. Semakin
tebal. Angin yang
membawa pohon
flamboyan pada
lembaran diariku
bungkam.
Semakin
memperjelas warna
bibirmu di langit itu.

II

Jalan sepi
Menunggu kita.
Botol yang
tersembunyi
menyimpan tangis,
dan kesedihanmu.
Seperti api
yang membakar.
Kemudian rindu
dan lembar
kepedihan.
Memungut cerita
di ujung senja.
Tangan kita
menggapai lemah.
Bibirmu mengais
oase
di bingkai gelap.

III

Masih jalan yang
sama.
Langit, bebatuan,
rumput
dan akasia
merangas dalam
matamu
Di ujung dahan
flamboyan,
gerai rambutmu
tertinggal.
Menyulam rel
kereta
menjadi nyanyian.
Kesunyian.

Memory with: EVIANA RAHAYU UTAMI

Cirebon, 2011

…

JALAN KEMBALI SENYAP

Kita harus menoleh jalan pulang, karena amplop surat yang kita kirim seolah menjadi daun-daun terhempas. Seperti malam sebelum aku asingkan beberapa nama jalan yang membuat otakku terus mencari. Kemana detik waktu yang mengabur pada sudut matamu. Atau bangku kayu yang menyimpan secangkir kopi kenangan. Cangkir kopi tempat kita mengaduk-aduk jantung kota. Udara yang membeku merubah kantor-kantor menjadi kotak undian. Nasib kita terus meringkuk di antara kertas-kertas lamaran. Sementara angin tetap bertiup ke utara. Mengantar pemakaman mimpi yang terbentur kerasnya tembok Jakarta

Kita kembali menjadi pohon-pohon bisu yang melihat ban mobil memasuki tubuh kita. Langkah senja semakin cepat melaju di jalan tol, di mana tak ada celah untuk menunda lajunya musim. Terlalu banyak kapal-kapal berangkat menuju pancaroba. Menawarkan pematang kegelisahan. Padahal kita hampir usai menghitung berapa banyak bangau terbang. Yang menatap kita di jalan yang kembali senyap.

Cirebon 151210

…

MELODY YANG TERHIMPIT

Pada hentian mobil berikutnya kita menawar rindu.
Yang latah terdengar di antara denting piano, dan suara gitar elektrik.
Sementara anak-anak pemetik ukulele rajin mencuri roti.
Kita pernah memasang kabel yang ujungnya menuju samudra.
Dan kita terlalu asyik memetik gitar di pucuk dahan-dahan rapuh.
Hingga bunyi batu yang memasuki hati kita tak terdengar.
Batu-batu yang kemudian menggelinding menjadi rel memanjang.
Mengikuti kebuntuan malam.
Kita lupa membuat pintu, untuk kunci lagu yang kita sering mainkan.
Hingga musik yang terpantul hanya putaran roda kumuh.
Tapi kita terus berlari di antara melody yang terhimpit.
Gedung-gedung dan gang sempit.

Cirebon 13 12 10

MENTARI YANG TERBENAM

Engkau kembali lagi ke kota. Menjauhi hikayat lumpur dan kunang-kunang. Meninggalkan kabut yang menyungkup pekarangan. Serta nyanyian bocah-bocah yang memantul dari tanah yang lapang. Orkesta seruling jerami tlah memahat tubuhmu dalam ingatannya. Seperti aku mengingat pematang sawah yang becek. Karena di sana tawamu terjerembab sepanjang musim.

Cuaca yang merubah pijakmu, membawa rambutmu dari kedalaman lubuk. Di sungai yang tak pernah kering. Gubuk yang terbengkalai adalah nyanyian rindu, sekumpulan burung gereja. Yang terbang saat senja tiba. Pohon-pohon menjadi kota bagi kerinduannya yang mulai terbenam. Bersama mentari di hatimu.

Cirebon 22 Desember

…

Sebaris Puisi Yang Kukemas Rapi

Sebaris puisi yang kukemas rapi. Aku kirim lewat hujan. Curah yang mungkin kau dengar adalah rindu. Yang memangku jemarimu dari waktu ke waktu. Sunyi lelah bertapa dalam jantungku. Maka perkenanlah sebaris puisi yang kukemas rapi menemanimu. Agar mawar yang menitip matamu menebarkan semerbak hatimu.

Sebaris puisi yang kukemas rapi. Telah kukirim lewat angin. Agar kesegaran yang berhambur dari tubuhmu menyelinap diam-diam dalam benakku. Lalu memudarkan gulungan hitam sebuah tikungan menuju butiran keningmu. Pada kilaunya yang menetap sebagai piala. Ada kebun-kebun yang menebarkan aroma bunga. Aku menanamnya dalam kecupanku.

Sebaris puisi yang kukemas rapi...

Cirebon 20 maret '11

…

Sebelum Aku Mencintaimu

Sebelum aku mencintaimu. Aku tlah jatuh hati pada puisi, bunga-bunga, juga pohon-pohon yang hatiku tumbuh sebagai akarnya.

.2011

...

Olan Sanseviera : Seorang pencinta tanaman bunga dari Cerbon, info selain itu ada di sekujur puisi-puisinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun