Masih jalan yang
sama.
Langit, bebatuan,
rumput
dan akasia
merangas dalam
matamu
Di ujung dahan
flamboyan,
gerai rambutmu
tertinggal.
Menyulam rel
kereta
menjadi nyanyian.
Kesunyian.
Memory with: EVIANA RAHAYU UTAMI
Cirebon, 2011
…
JALAN KEMBALI SENYAP
Kita harus menoleh jalan pulang, karena amplop surat yang kita kirim seolah menjadi daun-daun terhempas. Seperti malam sebelum aku asingkan beberapa nama jalan yang membuat otakku terus mencari. Kemana detik waktu yang mengabur pada sudut matamu. Atau bangku kayu yang menyimpan secangkir kopi kenangan. Cangkir kopi tempat kita mengaduk-aduk jantung kota. Udara yang membeku merubah kantor-kantor menjadi kotak undian. Nasib kita terus meringkuk di antara kertas-kertas lamaran. Sementara angin tetap bertiup ke utara. Mengantar pemakaman mimpi yang terbentur kerasnya tembok Jakarta
Kita kembali menjadi pohon-pohon bisu yang melihat ban mobil memasuki tubuh kita. Langkah senja semakin cepat melaju di jalan tol, di mana tak ada celah untuk menunda lajunya musim. Terlalu banyak kapal-kapal berangkat menuju pancaroba. Menawarkan pematang kegelisahan. Padahal kita hampir usai menghitung berapa banyak bangau terbang. Yang menatap kita di jalan yang kembali senyap.
Cirebon 151210
…
MELODY YANG TERHIMPIT
Pada hentian mobil berikutnya kita menawar rindu.
Yang latah terdengar di antara denting piano, dan suara gitar elektrik.
Sementara anak-anak pemetik ukulele rajin mencuri roti.
Kita pernah memasang kabel yang ujungnya menuju samudra.
Dan kita terlalu asyik memetik gitar di pucuk dahan-dahan rapuh.
Hingga bunyi batu yang memasuki hati kita tak terdengar.
Batu-batu yang kemudian menggelinding menjadi rel memanjang.
Mengikuti kebuntuan malam.
Kita lupa membuat pintu, untuk kunci lagu yang kita sering mainkan.
Hingga musik yang terpantul hanya putaran roda kumuh.
Tapi kita terus berlari di antara melody yang terhimpit.
Gedung-gedung dan gang sempit.
Cirebon 13 12 10
MENTARI YANG TERBENAM