Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Cerpen Remaja] Jangan Pernah Takut Bermimpi

7 Januari 2025   22:02 Diperbarui: 7 Januari 2025   22:02 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu, ruangan guru di SMP Cinta Bangsa tampak lengang. Hampir semua guru berada di kelasnya masing-masing. Angin berembus lembut melalui celah jendela, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Listi menutup jurnal kerjanya yang baru saja selesai ia tulis. Ia selalu menyukai momen-momen seperti ini---sepi, waktu kosong, dan kesempatan untuk merenung, membaca atau menuliskan semua kegiatan di dalam jurnal.

Namun, ketenangan itu terusik oleh suara ketukan pelan di pintu.

"Masuk," kata Listi sambil menoleh. Seorang siswi perempuan dengan seragam rapi melangkah masuk. Ia adalah Rini, salah satu murid di kelas 9-B. Wajahnya pucat, dan matanya sembab seolah baru saja menangis.

Baca juga: [Cerpen] Pulang

"Bu Listi, boleh curhat sebentar?" tanya Rini dengan suara lirih.

"Tentu. Duduk sini," jawab Listi, menyodorkan kursi di depannya. "Ada apa, Rini?"

Rini menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. "Bu, saya... saya mungkin nggak bisa lanjut ke SMA."

Kata-kata itu membuat Listi tersentak. Rini terbilang anak yang berprestasi. Setiap semester dia meraih peringkat juara umum di sekolah. Selain itu, kegemarannya menulis, membuat dia meraih juara 1 lomba menulis cerpen tingkat provinsi Jawa Barat. Ia menatap gadis itu dengan seksama, menunggu penjelasan lebih lanjut.

Baca juga: Ketika Ambu Tiada

"Orang tua saya, Bu... mereka bilang nggak punya uang untuk biaya sekolah. Bapak cuma buruh serabutan. Kadang kerja, kadang nggak. Ibu juga cuma bantu tetangga bikin kue. Kalau masuk SMA, katanya biayanya mahal. Apalagi kalau harus beli seragam, buku, semuanya... Saya takut, Bu. Saya mau sekolah, tapi..." Rini terisak, menunduk, dan memeluk tasnya erat-erat.

Listi terdiam sejenak. Ia tahu, sebagai wali kelas, dirinya sering menjadi tempat murid-muridnya mencurahkan isi hati. Namun, mendengar Rini bicara seperti ini membuat hatinya terasa diiris-iris. Rasanya sayang jika anak secerdas Rini tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.

"Rini," ucap Listi lembut, "boleh Ibu tanya sesuatu?"

Rini mengangguk pelan.

"Kalau boleh tahu, kenapa kamu ingin sekali lanjut sekolah?" tanya Listi sambil memandang Rini lembut.

 "Karena... saya ingin jadi orang sukses, Bu. Kalau cuma berhenti di SMP, nanti saya nggak bisa cari kerja bagus. Saya nggak mau terus-terusan hidup susah seperti ini," jawab Rini seraya mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata,

Mata Listi mulai terasa panas. Ia teringat dirinya sendiri sewaktu kecil, berjuang melawan kemiskinan dan ketidakpastian, sama seperti Rini sekarang.

"Rini," kata Listi pelan, "kamu tahu, langit di luar sana selalu luas, kan? Walaupun kita melihatnya dari jendela kelas ini yang kecil, langit itu sebenarnya nggak pernah terbatas. Sama seperti masa depanmu."

Rini menatap Listi dengan bingung. "Maksud Ibu?"

Listi tersenyum, mencoba menjelaskan dengan cara yang sederhana. "Kadang, kita merasa seperti terjebak di ruangan sempit, seperti di kelas ini. Jendela kecil itu seolah membatasi pandangan kita. Tapi, sebenarnya, langit di balik jendela itu jauh lebih besar. Sama seperti kamu. Mungkin sekarang kamu merasa tidak punya banyak pilihan karena keadaan keluargamu. Tapi kalau kamu tetap berusaha, tetap bermimpi, kamu pasti bisa menemukan jalan ke luar dari ruangan sempit ini."

"Tapi, Bu... kalau nggak ada uang, apa bisa?" Rini terdiam, mencerna kata-kata itu. Dia belum paham dengan makna ucapan Listi.

Listi mengangguk mantap. "Bisa, Rini. Ibu akan bantu cari solusinya. Mungkin kita bisa bicara dengan kepala sekolah, cari beasiswa, atau cari bantuan lain. Yang penting kamu jangan berhenti bermimpi. Jangan biarkan keadaan menghentikan langkahmu."

Rini kembali menunduk, kali ini bukan karena sedih, tapi karena merasa harapan kecil mulai tumbuh di hatinya. "Bu Listi... terima kasih."

"Tidak perlu terima kasih," jawab Listi. "Yang penting, kamu terus semangat. Ibu di sini untuk mendukung kamu."

Hari itu, setelah Rini meninggalkan ruangan, Listi merasa hatinya berat namun juga penuh harapan. Ia tahu, perjuangan Rini untuk melanjutkan sekolah mungkin akan sulit. Tapi, ia juga tahu bahwa gadis itu memiliki sesuatu yang tak ternilai--- kecerdasan, kemauan keras dan keberanian untuk bermimpi.

Listi berdiri dan menatap langit di luar jendela kelas. Ia tahu, seperti Rini, ia juga hanya seorang kecil di dunia yang luas ini. Tapi, ia percaya, dengan langkah kecil yang dilakukan bersama, langit yang luas itu bisa diraih siapa saja.

Cibadak, 8 Januari 2024

"Jangan pernah takut bermimpi karena akan memberikan motivasi diri."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun