Mak, aku lapar." Seorang bocah kecil menggamit lengan ibunya
Tangan mungilnya memegang perut yang membusung
Tak berisi sesuatu, hanya angin yang memenuhi lambung.
Esok, mungkin hanya mimpi untuk sebutir nasi di meja."
Sang Emak melihat dompet yang tak berisi
Mata anaknya seperti bulan yang kehilangan cahaya
Tatapan penuh harap dan asa
Sedangkan dirinya tak berdaya apa-apa
Harta tak berpunya pekerjaan pun tiada
Entah apa yang harus dilakukannya
Di pasar, pedagang menggulung tikar lebih dini
"Harga melonjak, pembeli tak lagi belanja kemari."
Bawang merah, cabai, sayur mayur ,beras, telur ganti harga
Menjadi saksi bisu pemilik dompet yang serupa pasi
Di layar kaca, para pembesar berdiskusi
Berdebat angka, mengoceh solusi yang terasa tak pasti
"Ekonomi baik-baik saja," katanya sambil tertawa
Sementara isak tangis tak bersuara dari rakyat jelata yang penuh nestapa
Langit di atas desa semakin meredup
Petani bertanya, "Di mana janji panen yang gemilang?"
Gembar gembor negeri bisa berswasembada
Jawabnya hanya bisikan angin
Dan para petani tetap merana
Si kecil memandang pelangi yang tak  berwarna
Baginya asa hanya menjadi permainan kata yang tak bermakna
Sang Emak tak bisa merawatnya sempurna
Mencari pundi-pundi laksana mengorek jarum di tumpukan jerami
Sementara itu Iklan di televisi menawarkan gaya hidup wah
Menaburkan mimpi hidup mewah
Meraih kebahagiaan dengan mudah
Tetapi ibu itu hanya bisa mendesah
"Berikan saja secangkir susu, agar anakku tak lelah."
Ketika harga sembako melambung tinggi
Mereka menggenggam harapan yang tak pasti
Apakah esok anak-anak masih bisa makan nasi?
Apakah tersisa uang sekadar beli teri?
Apakah mereka menunggu yang tak pasti.
Jawab mereka,"Lihat saja nanti!"
Dan besok, ketika pagi datang dengan sinar keemasan,
Rakyat masih bertanya,
"Apakah harga sembako akan turun hari ini?"
Namun jawaban hanya angin yang berbisik:
"Kita hanyalah pion dalam permainan
Solo, 25 Desember 2024