"Iya," jawab Baruna, tatapannya lurus ke arahku. "Karena mencintaimu bukan soal kemewahan atau kemegahan. Ini tentang sebuah janji yang ingin kujaga---selalu bersamamu, dengan hati yang utuh."
Aku tersenyum, memegang erat tangkai mawar putih itu, seolah ingin menyimpan kehangatan kata-kata Baruna dalam hatiku selamanya.
"Izinkan aku menikahimu, Tiur," ucap Baruna dengan lirih, tanpa melepaskan tatapannya dari mataku yang mulai berkaca-kaca.
Aku menundukkan kepala, menyembunyikan gelombang emosi yang mendesak di dada. Aku menghela napas berat dan jemari gemetar memegang tangkai mawar putih di tanganku. "Baruna," suaraku hampir tak terdengar, "Aku ... aku tak pantas menerima cintamu sebesar ini."
Baruna mengernyitkan dahi, tapi ia tetap menunggu, sabar seperti biasa. Aku menatapnya kembali, dengan mata yang sarat beban.
"Aku ... aku sakit, Runa dan mungkin umurku tak lama lagi. Bagaimana aku bisa menerima lamaranmu, ketika yang kutahu aku hanya akan meninggalkanmu dalam kesedihan? Aku tak ingin menjadi bebanmu. Aku ingin kau bahagia, menemukan seseorang yang bisa memberikan masa depan yang layak untukmu." Air mata mulai mengalir di pipiku, tapi cepat-cepat kuhapus buliran- buliran bening itu.
Baruna hanya tersenyum kecil, penuh kelembutan yang membuat hatiku semakin berat. "Kau sudah tahu jawabanku," katanya pelan. "Bahagia bagiku adalah berada di sisimu, berapa pun waktu yang kita miliki. Sakit atau sehat, panjang atau singkat, aku tetap ingin kita berjalan bersama."
Aku tak mampu menolak lamaran Baruna. Dia sungguh-sungguh mencintaiku. Aku sangat tersanjung meski di lubuk hatiku tak tega jika harus kembali kepada-Nya dalam waktu cepat.
Pagi ini, ruangan rumah sakit yang dingin berubah menjadi tempat sakral. Aku yang masih terbaring, menatap Baruna yang duduk di depan meja. Di depannya ada Ayah dan seorang laki-laki, mungkin penghulu yang akan menikahkan kami. Kami dikelilingi keluarga dan para sahabat.
Prosesi pernikahan akan dilaksanakan pagi ini di ruang tempatku dirawat. Aku mengenakan gaun putih sederhana, membalut tubuhku yang ringkih. Aku melihat ke arah meja tempat ijab Kabul. Senyum tipis menghiasi wajahku, meski rasa sakit terus menggigit di setiap tarikan napas.
"Kamu ... kamu cantik sekali," bisik Mama sambil menghapus air mataku yang mengalir tanpa diminta.