Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Cerpen] Senandika: Dua Sisi

2 Desember 2024   21:43 Diperbarui: 3 Desember 2024   07:58 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukang Sampah . Sumber: Dok.Pri by Canva

Pagi itu, alam sangat cerah. Sinar mentari menyusup lembut di antara celah-celah pepohonan, menghangatkan perkampungan yang basah oleh embun. Burung-burung berkicau riang, saling bersahutan, membawa melodi ceria. Angin pagi yang sejuk membelai dedaunan, membawa aroma segar tanah dan bunga liar.

Namun, di dalam rumah kecil di ujung gang, Darmin duduk termenung di atas bangku kayu yang mulai rapuh. Matanya menerawang ke luar jendela, tetapi yang ia lihat hanyalah bayangan masa lalu yang berulang-ulang menikam hati.

Kecerahan pagi itu seolah mengejeknya, mengingatkan bahwa kebahagiaan ada di luar jangkauan. Dunia di sekitarnya mungkin sedang tersenyum, tetapi dunianya sendiri gelap dan sunyi, penuh beban yang semakin hari semakin sulit ia pikul. Bagi Darmin, pagi ini tak lebih dari perpanjangan malam yang penuh luka.

Kepergian Sani -- isteri yang dinikahinya sepuluh tahun lalu--meninggalkan lubang yang dalam di hati Darmin. Kenangan akan senyum Sani, tawa kecilnya saat membangunkan Darmin di pagi hari, kini menjadi duri yang menancap dalam. Ia tahu, kesalahan mungkin tak sepenuhnya milik Sani, tetapi rasa ditinggalkan selalu membawa luka yang lebih besar dari sekadar kata-kata. Baginya, cinta itu menenggelamkannya dalam kesepian tanpa akhir.

Ia teringat senja temaram itu membiaskan kisah pedih di dalam hidup Darmin. Sani menghentakkan pintu dapur hingga berderak, membuat Darmin yang tengah melepas sepatu di sudut ruangan terperanjat.
"Kang Darmin! Sampai kapan kita mau begini terus? Hidup nggak ada perubahan kalau kamu cuma angkut sampah tiap hari!" teriak Sani, suaranya menggema di ruangan kecil itu.

Darmin mendongak perlahan, memandang istrinya dengan wajah lelah. Ia berdiri, menyeka peluh di dahinya, lalu meletakkan karung kotor di pojok. "Aku sudah berusaha, Sani. Ini satu-satunya kerjaan yang bisa aku lakukan."

Sani menatapnya tajam, tangan perempuan itu tampak gemetar menahan marah.
"Berusaha? Sepuluh tahun, Kang! Sepuluh tahun aku bertahan, berharap ada perubahan. Namun apa yang aku dapatkan? Kita tetap hidup di rumah reyot ini, makan pun kadang harus hutang!" suara Sani melengking, air mata mulai membasahi pipi.

Darmin mendekat, mencoba meraih tangan Sani, tapi Sani menepisnya.
"Aku tahu ini berat," ujar Darmin dengan suara parau, "Namun, aku nggak punya pilihan. Pendidikanku hanya SMA. Sulit mencari pekerjaan yang layak sekarang ini. Semua yang kulakukan ini demi kamu dan Rani."

Sani tertawa pahit, mundur beberapa langkah, matanya membara.
"Demi aku? Demi Rani? Kamu pikir anak kita bisa hidup layak dengan pekerjaanmu yang sekarang ini? Keputusanku sudah bulat. Aku akan pergi dan mencari pekerjaan di luar negeri.  Ada orang lain, Kang Darmin. Dia menawarkan aku hidup yang lebih baik, pekerjaan di luar negeri. Aku akan pergi. Dan aku mau kita pisah!" kata Sani tajam menusuk hati Darmin.

"Kamu tidak kasihan sama Rani?" Darmin menahan diri untuk tidak terpancing emosi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun