"Itu tanggung jawabmu. Aku akan tetap pergi bersama dia," ucap Sani lirih tanpa ekspresi.
Sani pergi saat Rani pergi ke sekolah esok harinya. Mungkin Sani tidak mau Rani terluka saat melihat ibunya pergi.
Kamu serius, mau pergi ... meninggalkan aku dan Rani?" Wajah Darmin memucat. Ia terdiam sesaat, lalu suaranya keluar rendah, hampir berbisik.
Sani mengangguk, menahan tangis."Kalau aku nggak pergi, kita akan terus hidup seperti ini. Aku nggak tahan lagi, Kang Darmin. Aku ingin Rani punya masa depan."
Darmin meremas tangan, menahan gemuruh di dadanya. Ia melangkah maju, berdiri di depan Sani, matanya memerah.
"Dan kamu pikir lelaki itu peduli? Dia cuma ingin memanfaatkan kamu! Kamu akan meninggalkan keluargamu demi janji kosong?" suaranya meledak, penuh amarah dan kesedihan.
Sani menggeleng keras, air matanya jatuh makin deras."Janji kosong atau tidak, aku sudah muak dengan kemiskinan ini!" Sani berteriak lalu berbalik dan bergegas pergi, membawa barang-barangnya.
Bagi Darmin, alasan Sani untuk bekerja di luar negeri adalah hal yang lumrah seperti kebanyakan perempuan-perempuan Indonesia lainnya. Mereka adalah para perempuan yang berani. Dari kampung-kampung kecil yang terpencil hingga kota yang hiruk pikuk, mereka melangkah meninggalkan rumah, bukan karena ingin, melainkan karena harus. Mereka paham, menjadi tenaga kerja di luar negeri bukan pilihan mudah, tetapi satu-satunya jalan untuk mengubah nasib keluarga yang terhimpit kemiskinan. Sama halnya dengan Sani, isterinya. Namun yang tidak bisa diterimanya adalah keputusan Sani untuk berpisah dan meninggalkan Darmin dan Rani sendiri.
Bagi Darmin, kepergian Sani bukan hanya tentang jarak ribuan kilometer yang memisahkan mereka, tetapi tentang hilangnya kehangatan seorang istri dan ibu dalam rumah yang kini terasa hampa. Ia bisa menerima kenyataan bahwa Sani harus bekerja di negeri asing demi menghidupi keluarga, seperti banyak perempuan lain yang rela meninggalkan segalanya demi selembar harapan. Namun, yang menyesakkan dada Darmin adalah pilihan Sani untuk tak lagi melihat mereka sebagai bagian dari perjuangannya dan meninggalkan Rani, anak semata wayang mereka.
Keputusan Sani untuk memulai hidup baru di negeri orang bersama pria lain adalah pukulan telak yang tak pernah ia duga. Darmin merasa ditinggalkan di persimpangan hidup tanpa arah. Ia kecewa, marah, dan terluka. Bukan hanya karena cinta yang dikhianati, tetapi juga karena janji-janji yang dulu mereka rangkai bersama kini hancur berkeping-keping.
Darmin tahu, hidup miskin yang mereka jalani bukanlah hal yang diimpikan Sani. Tapi ia tak pernah menyangka, perempuan yang dulu bersumpah setia di hadapan penghulu itu akan menyerah begitu cepat.
Rani adalah satu-satunya alasan Darmin bertahan. Meski luka itu belum sembuh, ia tahu ada tanggung jawab besar di hadapannya. "Aku harus kuat," bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Untuk Rani, aku tak boleh menyerah."