***
Hari itu, mentari menyinari kota dengan hangat, seolah ingin menghibur Darmin yang sedang mengais sampah di tepi jalan. Dia mencari barang-barang yang masih bisa dijual sebelum memasukan ke dalam gerobak. Tangan tuanya yang kasar merogoh setiap kantong plastik dan kardus, berharap menemukan sesuatu yang masih bisa dijual. Namun, kali ini, sesuatu yang berbeda menarik perhatiannya. Sebuah amplop cokelat besar, terlipat rapi di antara tumpukan limbah rumah tangga. Ia membuka amplop itu dengan hati-hati, dan matanya membelalak.
Uang lima puluh juta rupiah, terhitung dalam lembaran-lembaran yang masih baru bersama  dokumen-dokumen penting, tampaknya milik seseorang yang kaya dan ceroboh. Darmin terdiam, napasnya tersengal.
Hatinya bergolak. Pikiran dan hatinya bergulat dalam diam yang menyiksa. Di satu sisi, ia tahu bahwa uang itu bukan miliknya. Menggunakannya berarti melanggar prinsip hidupnya, prinsip yang selama ini menjadi satu-satunya harta yang ia miliki.
Tapi di sisi lain, Rani--putrinya satu-satunya--membutuhkan biaya untuk sekolah. Dengan uang itu, Darmin juga bisa memperbaiki rumahnya yang mulai reyot.
"Apa gunanya kejujuran jika hidup terus menerus digulung kemiskinan?" bisiknya pada diri sendiri, matanya menatap kosong ke arah langit. Perasaan ragu mulai merayap, tapi begitu juga ketakutan yang mendalam.
Namun, bayangan wajah Sani muncul dalam benaknya. Sani, yang pernah meninggalkan mereka karena merasa hidup bersama Darmin hanya membawa kesengsaraan. Suara hinaan Sani itu bergema di kepala, mengiris perasaannya. Dengan uang sebesar itu bisa mengubah nasib Darmin dan putrinya. Uang itu bisa dipakai juga untuk modal dagang. Sebuah dilema membelenggu nuraninya.
 "Tapi... bagaimana jika aku mengambil uang ini, lalu seseorang datang mencari? Apa yang akan mereka pikirkan tentangku? Seorang pencuri?"
Pikiran itu membuatnya bergidik. Nama baik, harga diri, semua yang ia pertahankan selama ini, akan lenyap seketika. Tapi kemudian, hatinya kembali dihantam rasa takut. Jika ia mengembalikan uang ini, pasti  tak punya cara lain untuk mengubah nasib. Â
Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Wajah Rani yang ceria terlintas di ingatan. Senyum lebar Rani yang selalu menguatkan Darmin di tengah beratnya hidup.
Darmin mendongak ke langit yang cerah, berharap mendapatkan petunjuk. "Tuhan ... tolong tunjukkan jalanku," ucapnya dengan suara serak.