"Guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa. Bukan karena guru tidak berjasa melainkan kita tidak bisa membalas jasanya sampai kapan pun. Kusembahkan cerita ini untuk para guru hebat di Indonesia. Selamat Hari Guru Nasional. Tanpa Guru Indonesia tidak akan meraih kesuksesan". _Nina Sulistiati
"Kamu tinggal memilih di antara dua: pilih aku atau tetap memilih pengabdianmu yang tak masuk akal itu."
Pesan singkat Anjani itu membuatku terdiam dan cukup membuatku mati kutu. Aku tidak tahu harus memilih yang mana. Sudah dua tahun Anjani memberiku kesempatan untuk mengajar di sekolah ini. Dan kesempatan ini sudah berakhir tahun ini. Dua pilihan yang sama-sama membuatku tak bisa memilih.
Aku berdiri di persimpangan asmara dan pengabdian, memandangi dua jalan yang sama-sama menuntut hati dan hidupku. Di satu sisi, ada Anjani, wanita yang kupilih untuk menjadi belahan jiwaku, dengan senyum yang menjanjikan kebahagiaan abadi. Di sisi lain, ada anak-anak di sekolah terpencil itu, yang tatapan polos mereka menggantungkan harapan pada setiap kata yang kuajarkan. Aku tahu, jika aku memilih cinta, aku harus meninggalkan pengabdian yang telah menjadi bagian dari jiwaku. Namun, jika aku bertahan di pelosok ini, aku mungkin kehilangan kesempatan membangun rumah kecil impian bersama Anjani. Antara tanggung jawab dan keinginan, aku terjebak dalam dilema yang tak kunjung selesai, bagai mencoba memilih antara dua sisi hati yang tak terpisahkan.
Anjani, seorang wanita yang sangat aku cintai sejak kuliah semester dua. Kami selalu bersama saat menghadapi setiap masalah-masalah yang menghadang, misalnya: saat orang tuaku meninggal karena kecelakaan. Anjani yang selalu membesarkan hatiku sekaligus membantu biaya kuliah.
Kami berbeda latar belakang. Anjani, anak tunggal dari Pak Bagaskara~ seorang pengusaha terkenal di kota hujan. Keluarga mereka sangat baik dan tidak memandang seseorang dari harta dan penampilan. Oleh karena itu kedua orang tua Anjani merestui hubungan putrinya denganku~ seorang pemuda sederhana, putera dari pensiunan tentara dan ibu seorang guru.
Anjani selalu memberikan support kepadaku hingga  lulus kuliah.Setelah kami lulus, Anjani bekerja di perusahaan papanya, sedangkan aku mengikuti tes menjadi guru. Aku diterima dan ditempatkan di SMP Atas Awan. Sebuah sekolah di desa terpencil di daerah selatan.
Baca juga: [Cernak] Mawar Merah Buat AdindaAwalnya ada keraguan untuk menerima penempatan tugasku yang sangat jauh. Aku ingat saat pertama kali datang ke sekolah itu. Perjalanan menuju sekolah itu cukup melelahkan. Dari kota hujan tempat asalku membutuhkan waktu tujuh jam perjalanan dengan kendaraan pribadi.
Aku mengambil kontrakan. Jarak sekolah hanya lima kilometer dari rumah kontrakanku, tetapi tanjakan dan turunan dengan batu-batu terjal dan jalan yang belum beraspal membuat aku cukup kesulitan tiba di sana.
Jalanan menuju ke sana laksana punggung naga, terlihat berkelok-kelok dengan tanjakan dan turunan yang tiada henti. Batu-batu besar tersebar tak beraturan, menyerupai jebakan alam yang siap menggoyahkan langkah atau roda kendaraan. Jika hujan turun, tanah di sekitarnya berubah menjadi kubangan lumpur pekat yang lengket, menghisap setiap yang lewat. Aroma basah tanah liat berpadu dengan bau dedaunan yang meluruh, menciptakan suasana yang kian suram.