Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Cerpen] Punakawan di Negeri Konoha

15 November 2024   21:38 Diperbarui: 15 November 2024   21:38 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satria --seorang pemuda desa yang kini tinggal di salah satu sudut kota Konoha-- bukan pemuda biasa. Pemikirannya setajam pisau, jari-jarinya menari lincah di atas layar perangkat, seolah menyulam ide-ide besar menjadi nyata. Namun yang paling istimewa darinya adalah kebijaksanaan dan ketenangan hatinya, seperti danau yang mampu menenangkan badai sekalipun. Hidupnya tidak hanya soal dirinya sendiri, tetapi tentang mimpi besar yang selalu bersemayam di relung hatinya.

Di tengah Konoha yang perlahan ditelan bayang-bayang suram yang kian menyesakkan, Satria memutuskan sesuatu yang besar: melamar pekerjaan di pemerintahan. Bukan demi karier atau gelar, melainkan demi sebuah tujuan mulia---mengembalikan harapan yang nyaris lenyap. 

Baginya, meski kecil, langkah ini bisa menjadi awal bagi perubahan besar yang Konoha butuhkan. Sebab di balik setiap gelap yang pekat, selalu ada seseorang yang berani menyalakan secercah cahaya. Dan Satria percaya, ia adalah salah satunya.

Matahari pagi bersinar terang ketika Satria melangkah ke gedung pemerintahan untuk wawancara terakhirnya. Gedung itu megah, dengan pilar-pilar tinggi dan jendela besar yang memperlihatkan kemewahan di dalamnya. 

Satria telah berhasil melewati berbagai tes dan menyisihkan ratusan pelamar lainnya. Kini, ia adalah satu dari lima calon pegawai yang tersisa. Namun, perasaannya campur aduk antara harapan bercampur dengan kecemasan. Dia cemas karena hanya dua orang yang akan diterima di sini.

Satria menyapu pandangannya ke sekeliling ruang tunggu. Empat kandidat lain duduk berjajar, masing-masing memancarkan aura percaya diri. Mereka mengenakan pakaian terbaik, seolah tak ingin melewatkan sedikit pun kesempatan untuk meninggalkan kesan. Di sudut ruangan, seorang pria muda dengan jas rapi dan wajah penuh percaya diri melirik ke arahnya. Tatapan itu tajam, merendahkan, seolah berkata, Kau tak punya peluang di sini.

Satria menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan yang perlahan menyelinap di dadanya. Ia tahu, keyakinan adalah pakaian terbaiknya hari ini."Hei, kamu dari mana?" tanya pria itu, suaranya penuh ejekan. "Kamu yakin bisa bersaing dengan kita?"

Satria tersenyum tipis. "Saya dari kampung sebelah. Saya yakin dengan kemampuan saya."

Pria itu tertawa kecil. "Oh, yakin ya? Jangan berharap terlalu tinggi, Bro. Di sini, yang penting adalah siapa yang kamu kenal, bukan apa yang kamu tahu. Sepintar apapun dirimu jika tak punya koneksi tak akan lolos."

"Nah... loe titipan siapa?" Cowok berpakaian coklat itu bertanya seraya tersenyum sinis.

Kata-kata itu menyakitkan, namun Satria berusaha tetap tenang. Ia tahu bahwa kemampuannya tidak bisa diremehkan. Namun, ketika akhirnya nama-nama yang diterima diumumkan, hati Satria hancur. Kedua nama yang disebutkan adalah mereka yang berbicara bersamanya tadi, sementara namanya tidak ada di daftar.

"Maaf, Satria. Kamu sangat berbakat, tapi ada beberapa pertimbangan lain," kata seorang tim pewawancara dengan nada yang mencoba terdengar simpatik. "Kamu pasti akan menemukan tempat yang lebih baik."

Dengan berat hati, Satria meninggalkan gedung megah itu. Kedua kandidat itu tersenyum mengejek saat Satria berpapasan dengan mereka. Kekecewaan mendalam melanda hatinya. Dalam perjalanan pulang, ia merasa dunia ini tidak adil.

Satria berjalan tanpa tujuan di taman kota yang sepi. Malam di taman memancarkan keheningan yang memikat. Cahaya bulan memercik lembut di atas dedaunan, menciptakan bayangan tipis yang bergerak perlahan tertiup angin. Lampu-lampu taman berpendar kuning keemasan, menyelimuti jalan setapak dengan nuansa damai. Aroma tanah basah dan wangi bunga kamboja menguar, menyatu dengan desiran air mancur kecil di tengah taman yang terus mengalir tanpa henti.

Dia berharap suasana taman dapat mengobati kegundahannya. Di sana, ia bertemu dengan para Punakawan yang kerap ditontonnya dalam pertunjukkan wayang. Tokoh-tokoh yang sangat dikagumi dengan kebijakan dan kesabarannya. Mereka tampak sedang bercengkerama, seperti biasa, dengan tawa dan canda yang khas.

"Eh, lihat siapa yang datang," kata Petruk sambil mengangkat alis. "Pemuda yang tampak penuh beban."

Gareng mendekat dan menepuk bahu Satria dengan lembut. "Nak, tampaknya wajahmu menunjukkan kekecewaan yang dalam. Apa gerangan yang membuat hatimu gundah gulana?"

Satria menghela napas panjang. "Saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan pekerjaan di pemerintahan. Saya bahkan mendapatkan nilai tertinggi. Namun, saya tidak punya 'titipan' atau 'koneksi' sehingga saya harus kalah dari mereka yang punya pejabat sebagai penjamin."

"Ah, kisah lama yang selalu berulang. Negeri ini memang sudah terjangkit penyakit kronis bernama korupsi, nepotisme, oligarki dan hidden ambition," ucap Petruk dengan nada miris.

"Betul sekali, Petruk. Padahal, orang-orang seperti Satria ini yang seharusnya memimpin dan membangun negeri, bukan mereka yang hanya bisa menjadi boneka pejabat." Gareng berkata sambil menunjukan jempolnya.

"Tidak usah terlalu dipikirkan, Nak. Rejeki tidak hanya dari satu pintu. Tuhan selalu punya rencana yang lebih baik," ujar Semar mendekat dan menatap Satria dengan bijak, "Satria, negeri ini memang penuh dengan oligarki dan ambisi pejabat yang hanya mementingkan diri sendiri. 

Namun, jangan biarkan hal itu menghancurkan semangatmu. Aku akan memberimu sebuah wangsit. Mengapa tidak menciptakan pekerjaan sendiri? Dengan kecerdasan dan keterampilan yang kau miliki, kau bisa membangun sesuatu yang besar dan bermanfaat bagi banyak orang."

Satria terpaku mendengar wangsit itu. Kata-kata itu terus bergema di pikirannya, seperti kunci yang membuka pintu yang selama ini tersembunyi. Ia harus merancang ide-ide besar: sebuah platform digital yang akan menghubungkan para petani kecil dengan pasar global, memberdayakan mereka untuk mendapatkan hasil lebih adil.

Dia menyadari bahwa perjalanan ini bukan sekadar tentang membangun platform, tetapi juga tentang mengubah nasib ribuan jiwa. Dengan semangat yang baru menyala, Satria memulai langkah pertamanya, akan menyusun tim yang memiliki visi yang sama. Ia tahu tantangan akan menghadang, namun keyakinannya teguh. Perubahan besar sering kali dimulai dari sebuah langkah kecil yang dilakukan dengan penuh keyakinan.

Cibadak, 15 November 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun