Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen Remaja: Di Balik Kesunyian

15 Juni 2024   22:27 Diperbarui: 15 Juni 2024   23:07 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentari mulai beranjak ke arah barat. Lembayung merah saga terlukis di cakrawala menandakan senja akan beranjak pergi. Kinanti duduk di bangku kayu tua di halaman belakang rumah, merasakan angin sepoi-sepoi menyentuh wajah. Di tangannya, sebuah buku diari lusuh tergenggam . Buku itu adalah tempat pelariannya dari realitas kehidupan yang keras dan saat dia rindu pada ibunya.

Saat ini perasaan Kinanti campur aduk  dan sulit diungkapkan. Bahagia, marah, bingung, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Peristiwa yang baru saja dia alami sangat mempengaruhi jiwanya. Dia ingin memberontak pada takdir, tetapi dirinya tak berdaya apa-apa. Perjalanan hidupnya yang penuh luka, kerap membuat dadanya sesak. Ingin dia tumpahkan segala lara, tetapi dia hanya mampu meminta. Perjalanan hidup yang bagai tayangan cerita film selalu berakhir dramatis.

Sejak berusia lima tahun, Kinanti tinggal bersama neneknya di rumah kecil di pinggiran kota. Ibunya telah meninggal beberapa tahun lalu, meninggalkan luka yang dalam di hatinya. Ayahnya? Entah dia di mana. Sosok pria itu telah lama meninggalkan mereka, menyisakan bayang-bayang kerinduan yang menghantui setiap malam.

Baca juga: Cerpen

Kinanti harus menerima setiap kisah dari skenario hidupnya. Dia harus kehilangan ibu, hidup bersama nenek yang renta, dan menghadapi bullying dari teman-teman yang tidak memahami kondisinya. Namun selama ini dirinya selalu tabah. Dia hadapi setiap duka lara hidup dengan keikhlasan dan ketabahan. Kinanti yakin takdir yang dikalungkan oleh Sang Pencipta, harus diterima dan dijalani dengan ikhlas.

Kehadirannya di sekolah merupakan kisah  perjuangan tersendiri. Teman-temannya sering mengejek, memanggilnya dengan nama-nama yang menyakitkan hati.


"Hei, si Bolot! Apa kamu dengar kami?" Teriakan itu sering memukul gendang telinganya, menghantam hatinya seperti duri yang   tertancap di lubuk hati. Namun, Kinanti tetap tenang. Dia tahu bahwa tangisan tidak akan mengubah apapun.

Tuhan mendatangkan malaikat penyelamat buat Kinanti. Anggun, sahabat sejatinya, selalu ada di sisinya. Anggun adalah gadis ceria yang selalu membawa warna dalam hidup Kinanti. Di antara mereka berdua, tidak ada rahasia. Anggun adalah pendengar setia curahan hati Kinanti, tempat di mana segala kerinduan dan kesedihan tertumpah. Hanya kepada Anggun, Kinanti pernah bercerita tentang rindu yang mendalam pada sang ayah.

"Aku ingin sekali bertemu dengan ayahku," kata Kinanti suatu sore saat mereka duduk di taman kota. Netra Kinanti berkaca-kaca, menahan air mata yang ingin tumpah. Saat itu Anggun memeluk sahabatnya, merasakan beban yang dipikul gadis itu dan menguatkan hatinya.

"Aku mengerti, Kinanti. Suatu saat nanti, kamu pasti akan bertemu dengannya," hibur Anggun lembut, berharap bisa memberikan kekuatan. Setiap kali berbicara tentang itu, mata Kinanti berkaca-kaca, tetapi dia menahan tangisnya.

***

 Sepulang sekolah tadi, Kinanti berkunjung ke rumah Anggun untuk pertama kalinya. Kinanti melangkah perlahan memasuki halaman rumah Anggun yang luas dan megah. Rumah besar dengan dinding putih dan pilar-pilar tinggi itu tampak megah, jauh berbeda dari rumah kecil dan sederhana yang ditinggalinya bersama nenek. Ada rasa kagum yang bercampur dengan perasaan kecil di dalam hatinya. Namun, Kinanti selalu mencoba untuk tidak menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya.

"Masuk, Kinanti!" seru Anggun dengan ceria, mengajaknya masuk ke dalam rumah.

Di dalam rumah, ruangan-ruangan luas dengan dekorasi elegan menyambutnya. Langit-langit tinggi, lampu kristal berkilauan, dan perabotan mewah membuat Kinanti merasa seperti berada di dunia yang berbeda. Anggun mengajaknya ke ruang tamu yang besar. Mereka duduk di sofa empuk dan mulai mengobrol. Kinanti bersyukur karena dia bisa berkomunikasi dengan normal meskipun harus menggunakan alat sepanajang hidupnya. 

Saat Anggun pergi ke dapur untuk mengambil minuman, pandangan Kinanti tertuju pada deretan foto keluarga yang tergantung di dinding. Ada foto Anggun yang masih kecil, foto keluarga saat liburan, dan kemudian... foto seorang pria yang membuatnya tertegun.

Pria itu. Wajahnya begitu familiar. Kinanti merasakan degup jantungnya semakin cepat. Tanpa sadar, dia mendekati foto itu. Jari-jarinya yang gemetar menyentuh kaca bingkai foto tersebut. Wajah pria itu adalah wajah yang sama dengan yang ada di foto dalam buku diari almarhumah ibunya. Pria yang selama ini dirindukan dan dicari-carinya.

"Ayah," bisik Kinanti dalam hati, matanya mulai berkaca-kaca. Kepedihan, kerinduan, dan luka lama tiba-tiba membanjiri hatinya.

"Ayah?" Tentu saja itu ayahnya. Tapi bagaimana mungkin?  Air mata mulai mengalir di pipinya saat ia mencoba menahan isak yang akan keluar. Dunia di sekelilingnya seakan memudar, menyisakan hanya dirinya dan foto itu.

Kinanti segera menyeka air matanya ketika mendengar langkah kaki Anggun mendekat. Dia berbalik, berusaha memasang senyum meskipun hatinya hancur berkeping-keping.

"Ini minumnya," kata Anggun sambil tersenyum, tidak menyadari pergolakan batin sahabatnya.

Kinanti mengambil gelas yang disodorkan Anggun dan mencoba tersenyum kembali. "Terima kasih," jawabnya meskipun suaranya terdengar begitu lemah. 

 Kinanti berjanji untuk menjaga rahasia ini. Bagaimana mungkin dia bisa memberitahu Anggun bahwa mereka berbagi ayah yang sama? Bahwa ayah yang dicintai Anggun adalah juga ayah yang dirindukan Kinanti? Itu adalah rahasia yang terlalu besar dan terlalu menyakitkan untuk diungkapkan.

Malam ini, Kinanti membuka kembali buku diari ibunya.  Di dalam buku diari tua milik ibunya, ada foto yang sama. Foto pria yang sekarang dia tahu adalah ayahnya dan ayah Anggun. Dia membuka halaman demi halaman diari itu, membaca kembali kata-kata ibunya yang penuh cinta dan kerinduan.

Anakku, dalam setiap keindahan, akan selalu ada mata yang memandang. Di dalam setiap kebenaran, selalu ada telinga yang mendengar. Dalam setiap kasih, selalu ada hati yang menerima. Terimalah takdir dengan keikhlasan karena semua akan terasa indah tanpa dendam" 

Kinanti menutup diari itu dengan hati yang berat. Kepedihan, kerinduan, dan luka berbaur menjadi satu. Namun, dia tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Dia harus kuat, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk neneknya yang selalu menyayangi, dan mendukung Kinanti.

Rahasia itu akan tetap tersimpan, setidaknya untuk saat ini. Di balik senyap, Kinanti akan terus melangkah, mencari kekuatan dalam ketabahan dan kepandaiannya, sambil berharap bahwa suatu hari nanti, semua kepingan puzzle hidupnya akan terungkap dengan cara yang tepat.

Cibadak, 15 Juni 2024

Aku dedikasikan cerita ini untuk semua para deafable di mana pun berada. Yakin Tuhan akan memberikan anugerah terindah pada waktunya nanti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun