Mentari merah saga menghias cakrawala. Biasnya hadir bersama camar yang berebut kembali ke sarang. Lembayung menghapus jejak kuning dan menggantikan dengan kegelapan. Selapis awan tipis mulai menghitam
Aku memandang siluet tubuhmu yang menghadap lautan biru. Terpancar gurat luka terlukis di wajahmu. Andai saja aku mampu menghadirkan kembali senyum manis yang biasa menghias bibirmu. Senyum yang selalu membuahkan rindu. Andai saja aku mampu mengobati luka yang katamu telah memborok.
"Kamu tahu tidak apa keinginanku sekarang ?" tanyamu kepadaku saat itu.
"Tidak," ujarku pendek sambil terus mengawasimu.
"Ingin aku larungkan semua lara yang menyesakkan dada ke lautan lepas itu.
Kamu memandang ke arah cakrawala tanpa jeda. Rasanya aku ingin membantu mengeluarkan dari segala kepahitan hidup.
Aku masih ingat satu tahun lalu kamu datang kepadaku. Kamu bercerita tentang laki-laki yang sangat dicintai telah menduakan hati. Kenyataan pahit yang harus diterima setelah perjalanan dua puluh tahun kebersamaan membina mahligai rumah tangga.
"Kini biduk yang aku kayuh tak lagi bernahkoda. Aku harus mengayuh sendiri menghadapi badai kehidupan."
"Kamu pasti kuat dan mampu melewati semua kesulitan hidupmu." Aku menghibur.
Aku ingin memberikan kekuatan yang kumiliki untukmu. Namun, aku tak berdaya apa-apa. Hatimu begitu terluka. Ujian dan cobaan yang mengalir tak henti telah meluluhlantakan asa yang ada di hatimu.