Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen 'Perempuan Migran'

21 April 2024   22:31 Diperbarui: 21 April 2024   23:04 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar dokumen pribadi by Canva

Waktuku tersita tak bersisa, demi kalian. Tak apa, aku tak pernah mengeluh meski kerap merintih lirih dalam hati. Ku korbankan hati, jiwa, raga demi orang-orang tercinta. Kuikhlaskan lara yang kerap menjeda asa. Karena aku sadar, aku seorang wanita tempat menampung cerita, aku tahu aku seorang ibu, tempat  penyemangat kalbu.  Meski di luar sana aku seorang perwira dan ksatria yang menaklukkan dunia, aku tetap sadar kodratku

Aku menatap buku 'Habis Gelap Terbitlah Terang' yang ditulis oleh R.A. Kartini. Buku yang berisi surat-surat Kartini kepada sahabatnya Abendanon. Buku ini aku dapatkan dari perpustakaan keluarga majikanku.

Aku memang gemar membaca. Di sela waktu luang, aku menyempatkan diri untuk membaca. Aku sudah minta izin kepada majikanku agar bisa membaca buku-buku yang ada di perpustakaan keluarga itu. Mereka senang karena art-nya gemar membaca.

 Buku ini berisi kegelisahan Kartini akan nasib kaum perempuan pribumi yang tidak mendapat hak yang sama dengan lelaki. Pengalaman hidup Kartini yang harus menuruti keinginan oranag tuanya . Kartini dilarang untuk belajar dan dipaksa menikah dengan pilihan orang tuanya. Kartini merasa prihatin dengan nasib perempuan Indonesia. Perempuan yang harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri: mengurusi rumah tangga, merawat anak dan melayani suami tanpa mendapatkan hak pendidikan. Perempuan yang harus manut pada tata krama dan tradisi, dan harus terkungkung tanpa bisa bergerak.

Baca juga: Cerpen "Mbatin"

Berpuluh-puluh tahun lalu, Kartini berjuang untuk hak-hak kaum perempuan dalam mengenyam pendidikan dan pekerjaan. Perjuangan itu kini sudah berhasil bahkan sangat berhasil. Faktanya jutaan kaum perempuan mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Ribuan perempuan pun menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan maupun swasta. Emanispasi, kesetaraan gender digemakan ke seluruh negeri.

Sektor-sektor pekerjaan yang awalnya hanya bisa dilakukan laki-laki pun sudah dikuasai pula oleh para perempuan. Para perempuan pula yang akhirnya harus menjadi tulang punggung keluarga. Mereka harus bekerja dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah demi anak-anak karena kesempatan pekerjaan untuk kaum laki-laki sangat terbatas.

Pabrik-pabrik yang bertebaran di seluruh negeri ini, pekerjanya sebagian besar berjenis kelamin perempuan. Hanya sedikit pekerja laki-laki yang ada di sektor-sektor pekerjaan formal dan non formal dibandingkan dengan jumlah pekerja perempuan.

Tak cukup sampai di situ, demi menghidupi keluarga, para perempuan itu rela bekerja di luar negeri agar mendapat gaji yang lebih besar. Mereka rela jauh dari suami dan anak-anak. Mereka rela setiap bulan mengirimi uang ke keluarga mereka di Indonesia untuk bisa hidup dan membiayai pendidikan anak-anak. Kenyataan yang terjadi tak sedikit uang itu disalahgunakan oleh para suami untuk foya-foya, menyenangkan hati atau menikah lagi. Sebuah penyelewengan yang menyakitkan.

Baca juga: Cerpen: Bunglon

Apakah ini yang diharapkan oleh Kartini untuk kaum perempuan? Kesetaraan yang berlebihan dan keluar dari kodrat perempuan. Laki-laki yang berfungsi sebagai pencari nafkah harus bertukar peran sebagai pengurus rumah tangga dan mengurus anak sedangkan perempuan harus bekerja mencari uang. Miris dan sangat memprihatinkan.

Baca juga: Pantun "Gado-Gado"

Itulah yang aku alami. Aku, seorang ibu dua anak, bekerja sebagai asisten rumah tangga di Kairo. Aku terpaksa bekerja di luar negeri dan meninggalkan kedua puteriku bersama suami. Disti, baru berusia delapan tahun dan Hani enam tahun saat aku tinggalkan empat tahun lalu.

Suamiku bekerja sebagai buruh bangunan dengan penghasilan yang tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rumah kami masih mengontrak sementara suamiku tak berdaya untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun