Sementara kemacetan masih terus berlangsung dan mengular panjang, ditambah dengan sikap sopir yang membiarkan mobilnya berada di jalur yang diperuntukan untuk kendaraan berlawanan.
Suasana jalanan semakin kacau. Beberapa sopir lain menyuruh angkot mengambil jalan ke bahu jalan, tetapi malah dibentak-bentak. Akhirnya aku memutuskan untuk turun dan berganti dengan kendaraan lain.
"Punten, akang yang salah menggunakan jalan mobil lain," ujarku mengingatkan si sopir dan temannya seraya berlalu.
"Apa sih ibu ini ikut-ikutan. Awas ada perempuan gila! " teriak sopir dan temannya keras sambil menunjuk-nunjuk ke arahku. Serentetan kata-kata kotor keluar dari mulut mereka dan membuat telinga panas. Beberapa orang memandangiku.
"Awas ... aya awewe gelo!" teriak si sopir seraya menunjuk-nunjuk aku.
Serta merta darahku mendidih. Aku ingin mendekati mereka. Aku tak takut jika mereka akan bersikap kasar karena aku yakin ban hitam karateku akan mampu mengatasinya.
"Ah ... biar sajalah. Kalau aku ladeni pasti akan semakin menjadi." Akhirnya aku memilih sabar dan masuk ke salah satu restoran yang dekat dengan kemacetan. Aku duduk sambil memilih menu take away buat anak-anak.
"Hai ... perempuan gila!" teriak sopir itu lagi dan menunjuk ke arahku .
Aku sigap dan merekam kejadian itu. Aku ingin memberikan pelajaran kepadakedua anak muda yang taktahu sopan santun itu. Saat melihat aku merekam mereka, teman sopir itu turun dan mendekatiku. Dia berusaha mengambil handphone di tanganku.
"Eits ... !" Aku berkelit ke kiri. Rupanya anak muda itu lebih gila di luar dugaanku.
"Awas, Bu!" teriak petugas keamanan. Dia berusaha menghalangi laki-laki itu. Namun, laki-laki itu mendorong dengan keras sehingga petugas itu terjerembab.