Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Cerita Remaja "Air Mata Belantara"

20 Oktober 2023   20:22 Diperbarui: 20 Oktober 2023   20:23 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pribadi by Canva

Bagian 1

Kita harus hati- hati menyisir hulu sungai." Pras berbicara sambil menepiskan ranting- ranting pohon di depannya.

"Kamu masih kuat, Kin?" tanya Pras sambil melirik ke arahku. Aku hanya menganggukkan kepala pelan.

Baca juga: Mati Suri

Perjalanan menuju Gunung Pangrango cukup sulit. Aku, Bimo, Reina, Tejo dan Pras sengaja merencanakan untuk menjelajah jalur baru.

Kami membutuhkan tenaga ekstra karena melalui jalur baru yang tidak biasa. Di hutan bagian barat ada aliran sungai yang sangat jernih airnya. Suara gemericik airnya terdengar dari tempat kami berada.

"Tunggu! Kalian dengar sesuatu," ujar Bimo sambil menahan langkahnya. Aku dan yang lainnya ikut berhenti sambil memasang telinga.

Baca juga: Rendezvous

"Ada suara langkah kaki," ujarku berbisik.

"Iya, ada beberapa langkah." Tejo menambahkan seraya menunjuk ke arah barat.

"Mungkin ada penduduk yang mencari kayu bakar," timpal Reina.

"Masa sih di tengah hutan begini ada orang?" tanya Pras ragu.

"Jangan ... jangan ... demit penunggu hutan," ucap Bimo pelan.

"Hush...! Jangan ngomong sembarangan di tempat begini." Aku melotot kepada Bimo yang cengengesan .

"Diam! Jangan berisik..." ujar Pras sambil menempelkan telunjuk ke mulutnya.

Suara langkah itu terdengar lagi. Kali ini suara langkahnya terdengar lebih banyak berarti pemilik langkah itu lebih banyak.

"Kalian tunggu di sini dulu. Aku mau naik ke atas bukit itu agar bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi," ujar Pras sambil bersiap- siap pergi.

"Aku ikut, Pras!" pintaku lirih. Pras menganggukan kepalanya.

Aku menaiki bukit yang tak terlalu tinggi bersama Pras. Dari sana kami bisa melihat aktivitas yang terjadi di lembah. Suara gergaji listrik terdengar cukup keras dari sini disertai teriakan derak pepohonan yang tumbang.

"Pras, bukankah itu hutan lindung?" tanyaku sambil menunjuk ke arah lembah.

"Setahuku begitu. Mengapa pepohonan itu bisa ditebangi ya? Apakah mereka berizin?" Pras bertanya pada dirinya sendiri. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.

"Ayo, kita balik lagi ke teman- teman." Aku mengajak Pras sambil menarik tangannya. Kami berjalan pelan- pelan khawatir ketahuan sedang mengawasi gerak- gerik mereka di lembah.

Saat tiba di rombongan, Pras menceritakan aktivitas yang ada di lembah.

"Banyak pohon yang ditebang paksa oleh orang- orang itu," ujar Pras.

"Lalu apa tindakan kita selanjutnya?" tanya Bimo.

"Kita lapor saja ke polisi hutan. Kamu kan punya nomor Pak Aziz, Jo. Ayo telepon dia. Tunggu apa lagi!" Reina berkata sambil menarik- narik Tejo.

Akhirnya Tejo menelepon Pak Azis, polisi hutan sekaligus pembina kami di mapala. Aku tak mendengar jawaban dari Pak Aziz.

"Kamu kirim pesan saja, Jo. Mungkin jaringan sedang tidak bagus di sini," nasihatku kepada Tejo.

Akhirnya Tejo menulis pesan kepada Pak Aziz dengan harapan agar Pak Aziz segera mengirimkan bantuannya.

Mereka pelan- pelan mendekat ke arah lembah tempat orang- orang yang sedang mengolah kayu jarahan itu. Hanya Bimo dan Reina yang tidak ikut mendekati tempat itu. Pras takut jika kami tertangkap tidak ada yang akan memberikan pertolongan. Pras memang cerdas.

"Diam di tempat!" bentak seseorang dari belakang kami. Tampak tiga orang sedang berdiri seraya menodongkan pistol.

Aku bersembunyi di balik tubuh Pras. Tejo berniat untuk melawan ketiga orang itu, tetapi Pras menahannya karena khawatir Tejo akan ditembak oleh mereka.

Akhirnya kami digelandang ke sebuah pondok sambil diikat tangan. Aku terus mengekor Pras dari belakang. Kami dimasukkan ke sebuah gudang yang ada di samping pondok itu. Kami duduk di antara tumpukan karung yang entah apa isinya.

"Apa yang akan mereka lakukan pada kita, Pras?" tanyaku dengan nada cemas.

"Kita berdoa saja semoga kita akan diselamatkan, ya. Sekarang kita ikuti saja apa yang mereka lakukan kepada kita." Pras meyakinkanku.

Aku bersandar di dinding bambu, bersebelahan dengan Pras. Tejo duduk tepat di depan aku dan Pras. Aku hanya bisa berdoa semoga ada yang datang memberikan pertolongan kepada kami.

Mentari tampak redup dan masuk melalui dinding bilik bambu, pertanda hari sudah menjelang senja. Entah apa yang akan terjadi dengan kami nantinya.

Cibadak, 20 Oktober 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun