"Banyak pohon yang ditebang paksa oleh orang- orang itu," ujar Pras.
"Lalu apa tindakan kita selanjutnya?" tanya Bimo.
"Kita lapor saja ke polisi hutan. Kamu kan punya nomor Pak Aziz, Jo. Ayo telepon dia. Tunggu apa lagi!" Reina berkata sambil menarik- narik Tejo.
Akhirnya Tejo menelepon Pak Azis, polisi hutan sekaligus pembina kami di mapala. Aku tak mendengar jawaban dari Pak Aziz.
"Kamu kirim pesan saja, Jo. Mungkin jaringan sedang tidak bagus di sini," nasihatku kepada Tejo.
Akhirnya Tejo menulis pesan kepada Pak Aziz dengan harapan agar Pak Aziz segera mengirimkan bantuannya.
Mereka pelan- pelan mendekat ke arah lembah tempat orang- orang yang sedang mengolah kayu jarahan itu. Hanya Bimo dan Reina yang tidak ikut mendekati tempat itu. Pras takut jika kami tertangkap tidak ada yang akan memberikan pertolongan. Pras memang cerdas.
"Diam di tempat!" bentak seseorang dari belakang kami. Tampak tiga orang sedang berdiri seraya menodongkan pistol.
Aku bersembunyi di balik tubuh Pras. Tejo berniat untuk melawan ketiga orang itu, tetapi Pras menahannya karena khawatir Tejo akan ditembak oleh mereka.
Akhirnya kami digelandang ke sebuah pondok sambil diikat tangan. Aku terus mengekor Pras dari belakang. Kami dimasukkan ke sebuah gudang yang ada di samping pondok itu. Kami duduk di antara tumpukan karung yang entah apa isinya.
"Apa yang akan mereka lakukan pada kita, Pras?" tanyaku dengan nada cemas.