Aku terharu mendengar doa Bunda. Bunda sangat berharap agar aku bisa memakai busana muslimah. Namun, entahlah hatiku masih belum tergerak untuk menutup auratku. Maafkan aku Bunda.
Keesokan harinya aku melihat banyak orang yang berada di depan rumah. Meja, kursi, dan barang- barang yang ada  di ruang tamu sudah tersimpan di pekarangan. Hatiku mulai merasa tidak enak.
"Mang Jamal, apa yang terjadi di rumah saya?" tanya aku kepada Mang Jamal, tetangga belakang rumahku.
"Freya!" Mas Ardi memanggilku dari depan pintu. Dia memeluk aku setelah berada tepat di hadapannya.
"Ada apa, Mas? Apa yang terjadi? " tanyaku sambil memandang kakaknya.
"Bunda ..." Mas Ardi tak melanjutkan ucapannya. Dia ragu- ragu.
"Bunda ...," teriak aku sambil berlari ke dalam rumah. Aku melihat tubuh Bunda terbujur kaku dengan berselimut kain.
"Bunda kecelakaan saat pergi ke kantor, Dik. Nyawanya tidak tertolong saat dibawa ke rumah sakit," jelas Mas Ardi seraya memeluk aku agar tenang. Aku tak bisa menangis. Hatiku dipenuhi penyesalan, rasa bersalah  dan perasaan lain yang campur aduk. Kemudian aku tak ingat apa- apa lagi, semuanya gelap.
Sehari setelah pemakan Bunda, aku menemukan buku harian BUnda yang disimpan di lemari pakaiannya. Di halaman terakhir ada tulisan Bunda.Â
"Ya Rabbi, baluri puteriku dengan cahaya hidayah-Mu agar dia bisa bersamaku di Surga-Mu kelak."
Doa yang pendek tetapi mengandung banyak makna untukku. Aku memang harus mulai berubah seperti doa- doa Bunda selama ini. Kekuatan doa Bunda agar membuka pintu hidayah untukku agar kelak kami bisa bisa bersama lagi di surga-Nya