Siang itu Pak Ramdan akan pergi ke sebuah mal bersama kedua anak dan isterinya. Mereka berencana akan membeli pakaian dan kebutuhan untuk lebaran nanti. Pak Ramdan baru saja mendapatkan informasi jika THR dari kantornya sudah masuk rekeningnya.
"Pa, nanti aku mau membeli pakaian yang bagus ya. Sepatuku juga sudah usang." ujar Zania puteri sulungnya.
"Sepatumu baru dibeli dua bulan lalu, bukan?" tanya Bu Hani sambil tersenyum," Mending tidak usah membeli lagi."
"Ah ... Mama. Aku sudah bosan dengan sepatu itu," rajuk Zania sambil cemberut.
"Iya ... boleh. Kalian boleh membeli apa pun yang kalian butuhkan." jawab Pak Ramdan. Zania tersenyum kembali sambil memeluk papanya dari belakang.
"Awas! Papa sedang menyetir, Zania!" Bu Hani mengingat puterinya.
"Hilwa, kok diam saja? Apa yang akan kamu beli nanti?" tanya Pak Ramdan kepada puteri bungsunya yang sejak tadi hanya diam dan melihat tingkah kakaknya.
"Aku tidak akan membeli apa-apa, Pa. Bajuku masih bagus-bagus. Sepatuku juga baru dibelikan Mama dua bulan lalu." Jawaban Hilwa membuat Pak Ramdan tercenung.
Karakter kedua puterinya memang sangat bertolak belakang. Zania, puteri sulungnya memiliki karakter yang keras. Setiap keinginannya harus segera dipenuhi. Zania lebih periang dan cerewet.
Berbeda dengan Hilwa yang selalu memikirkan apa kebutuhannya bukan benda-benda yang diinginkannya. Puteri kecilnya ini sangat bijaksana, kalem dan lembut. Hilwa lebih pandai dalam bidang akademik dibandingkan Zania.
Apa pun perbedaan yang mereka miliki tak akan mengganggu kasih sayang yang diberikan oleh Pak Ramdan dan isterinya. Mereka adalah buah hati yang harus disayang dan dididik dengan baik.
Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah mal yang sangat besar. Banyak pengunjung yang tentunya memiliki tujuan yang sama dengan mereka yaitu berbelanja kebutuhan lebaran. Mal sangat padat sehingga mereka tidak mendapat tempat parkir di dalam mal. Pak Ramdan terpaksa memarkirkan mobilnya di pertokoan yang tak jauh dari mal tersebut.
"Panas, Pa. Mengapa tidak parkir di dalam saja sih." Gerutu Zania sambil menutupi kepalanya.
"Sekali- kali, Kak kita jalan kaki. Biar merasakan seperti mereka." Hilwa berkata seraya menunjuk orang-orang yang sedang berjalan.
"Ah ... kamu ini ndeso. Buat apa kita punya mobil jika harus berjalan juga," tukas Zania.
"Sudah ... sudah. Tidak perlu ramai. Kita tidak bisa masuk karena parkirannya sudah overload, Zania. Kamu mau kita membatalkan tujuan kita." Pak Ramdan melerai kedua puterinya yang sedang berdebat.
"Sebentar kita mampir ke ATM Center ya," ujar Pak Ramdan seraya menunjuk ke arah ATM Center di sebelah mal.
"Pak, kasihani saya. Berikan saya uang, Pak," tetiba seorang pengemis tua datang menghampiri mereka. Zania menyingkir saat pengemis itu mendekatinya.
Kemudian Pak Ramdan mengeluarkan uang sepuluh ribu yang akan diberikan kepada pengemis itu.
"Ikh ... Papa. Mengapa memberikan uang sepuluh ribu. Ini kasih saja seribu," ujar Bu Hani seraya memberikan uang seribu kepada pengemis tua itu.
Setelah mendapat uang seribu pengemis itu mendoakan mereka agar selamat, sehat dan banyak rejeki. Doa yang diberikannya sangat panjang.
"Lihat, Ma. Kita memberikan uang hanya seribu saja, dia memberikan doa kepada kita sangat panjang. Apalagi kalau kita memberikan uang yang cukup buat mereka, mungkin sepanjang hidup mereka akan terus mendoakan kita. Jika kita memberikan uang kepada orang yang membutuhkan insyaallahakan diganti berlipat-lipat oleh Allah," ujar Hilwa lirih sambil memberikan uang seratus ribuan yang ada dalam tasnya. Uang itu hasil tabungannya beberapa hari.
Bu Hani terpana saat mendengar ucapan Hilwa dan dia lebih terkejut lagi saat puterinya memberikan uang seratus ribu itu kepada pengemis itu.
"Sudah, Ma. Biarkan Hilwa melakukannya. Toh uang itu miliknya jadi kita tidak berhak melarangnya," nasihat Pak Ramdan sambil memegang bahu Bu Hani saat melihat isterinya itu akan memarahi Hilwa.
Pak Ramdan terharu atas apa yang dilakukan puteri bungsunya. Mau tidak mau dia memang harus membandingkan karakter Zania dan Hilwa, bagaikan bumi dengan langit. Pak Ramdan senang pendidikan pesantren Hilwa saat SD dulu terus melekat dalam kehiudpan Hilwa. Berbeda dengan Zania padahal dia pun bersekolah di tempat yang sama hanya bedanya Zania tidak ikut mondok.
Setelah mengantre di depan bilik ATM, Pak Ramdan masuk ke dalam. Dia melihat jumlah uang dalam ATM-nya bertambah fantastis. Setelah mengambil dengan jumlah yang dibutuhkan, Pak Ramdan keluar dari bilik ATM.
Pak Ramdan menelepon bagian keuangan di kantornya. Dia takut jika dana yang ada di tabungannya itu tidak jelas.
"Pak, itu adalah bonus Bapak selama tahun ini. Bapak sudah berhasil menggoalkan tender besar beberapa kali. Kami sengaja memberikan kejutan untuk Bapak dan keluarga," jelas Pak Ridwan, kepala bagian keuangan di perusahaannya.
"Alhamdulillah. Terima kasih, Pak," ujar Pak Ramdan sambil melihat puteri bungsunya.
Benar kata Hilwa, rejeki yang kita berikan kepada orang yang membutuhkan akan dikembalikan kepada kita di tempat dan waktu yang tidak kita ketahui. Pak Ramdan berjanji dia akan memberikan uang yang didapatnya tadi untuk anak-anak yatim piatu dan orang-orang yang membutuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H