Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen "Aku, Bunda dan Dia"

5 Februari 2023   07:26 Diperbarui: 5 Februari 2023   07:35 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan kereta malam
Ku pulang sendiri
Mengikuti rasa rindu
Pada kampung halamanku
Pada Ayah yang menunggu
Pada Ibu yang mengasihiku

Duduk dihadapanku seorang ibu
Dengan wajah sendu
Sendu kelabu
Penuh rasa haru ia menatapku
Penuh rasa haru ia menatapku
Seakan ingin memeluk diriku

Ia lalu bercerita tentang
Anak gadisnya yang telah tiada
Karena sakit dan tak terobati
Yang wajahnya mirip denganku

Lagu 'Perjalanan" milik Franky dan Jane terngiang di telingaku. Lagu yang menggambarkan kerinduan seorang ibu kepada anaknya yang telah meninggal karena sakit. Aku sangat suka lagu itu karena menunjukkan kecintaan seorang ibu kepada anaknya.

Hari ini aku memaksakan diriku untuk pulang dengan menggunakan kereta api karena kemarin Mbak Ani meneleponku tentang kondisi ibu yang sakit. Penyakit jantung bunda kambuh lagi dan kini ibu sedang dirawat di ICU Rumah Sakit Dr. Oen.

Aku menaiki kereta api kelas ekonomi premium. Aku pikir cukup untuk perjalananku seorang diri. Dengan tempat duduk menghadap ke depan dengan dilengkapi model reclining seat dan arm rest. Sehingga cukup nyaman untuk perjalanan jauh. Selain itu aku ingin berhemat.

Di sebelahku duduk seorang ibu yang usianya sekitar enam puluh tahunan. Hebat, dia masih kuat berpergian sendiri. Aku tak melihat ada seseorang yang menemaninya. Aku melihat ada kesedihan di matanya.

"Bade tindak pundi, Bu?" tanyaku sopan sambil memecah keheningan.

"Ibu mau pulang ke Solo, Nduk," jawab sang ibu dengan suaranya yang sedikit bergetar," Kamu sendiri mau kemana?"

"Saya mau pulang kampung, Bu. Saya ingin menengok orang tua. Kangen," jawabku pelan.

"Bahagia sekali orang tuamu ya memiliki anak yang sayang dan perhatian," ujar si ibu sambil berkaca-kaca.

Aku merasa ada duka yag terpendam dalam hatinya dan aku tak berani mengoreknya. Aku menduga-duga jika ibu sedang rindu juga kepada anak-anaknya.

Mungkinkah hal yang sama dirasakan oleh Bunda? Kerinduan Bunda kepadaku dan cucu-cucunya telah menyebabkannya sakit. Aku anak perempuan semata wayangnya harus jauh dari dirinya. Aku harus menerima keputusan departemen yang memutasikan Mas Gani ke tempat yang jauh dari Bunda. Sebagai seorang isteri, aku harus mengikuti kemana pun suamiku bertugas.

Sebenarnya Bunda ingin ikut dengan kami, tetapi Mas Gani melarang karena dia tidak mau direpoti ibu. Padahal aku mampu mengurus ibu dan keluargaku sendiri. Icha dan Ocha pun senang jika Mbah Uti mereka ada bersama mereka.

"Ma, rumah kita di Jakarta sempit. Lagi pula si Mbah mending di sini. Suasana desa akan membuatnya bahagia dibandingkan dengan Jakarta. Kita tinggal mencari orang yang bisa mengurusnya," ujar suamiku saat aku memohon agar Bunda diajak serta.

"Kasihan Bunda pasti kesepian, Pa. Apalagi Bapak sudah tak ada," pintaku sekali lagi. Namun, keputusan Mas Gani tak bisa diganggu gugat.

Akhirnya aku harus rela meninggalkan Bunda sendiri. Untungnya ada Mbak Ani, sepupuku yang bersedia menemani dan merawat Bunda.

Aku masih ingat pesan Bunda saat aku akan pergi," Nduk, sebagai seorang isteri, kamu harus manut pada suamimu. Ada pepatah Jawa yang berbunyi'Sabar iku lire momot kuat nandhang sakening coba lan pandhadharaning urip. Sabar adalah kemampuan untuk menahan segala godaan dalam hidup. Ikuti apa yang dikatakan suamimu."

Pesan Bunda selalu mengena di hati sehingga aku tak akan pernah lupa pada pesan-pesan yang disampaikannya. Bagi Bunda adalah sosok idola yang tiada duanya. 

Dert ... dert ... dert ...

Tiba-tiba terdengar suara HP berdering. Rupanya milik si ibu. Aku mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Ibu sudah pulang, Nu. Ibu tidak mau merepotkan kalian. Biar saja ibu tinggal di kampung dekat dengan makam Bapakmu. Kamu jangan cemas. Urus dan sayangi keluargamu dengan baik, ya. Demi ibu," ujar Sang Ibu sambil berkaca-kaca.

Kemudian wanita tua itu menyimpan HP-nya dan menahan tangisnya. Aku iba padanya. Aku merasa melihat ibuku sendiri.

"Maaf, ibu. Ada yang bisa saya bantu?" ujarku sambil memegang kedua belah tangannya.

"Terima kasih, Nak. Maaf Ibu membuatmu tidak nyaman, ya," ujar perempuan itu sambil mengusap air mata dengan sapu tangannya.

"Tidak, Bu. Jika ibu ingin bercerita, silakan. Saya siap mendengarkan," jawabku sambil mengelus-ngelus kedua tangannya.

"Ibu hidup sendiri setelah suami ibu meninggal sedangkan anak-anak tinggal di beberapa kota yang berbeda. Ibu kangen pada mereka karena sudah dua tahun mereka tidak bisa menengok. Oleh karena itu ibu mengunjungi mereka satu persatu karena mereka sibuk dan tak memiliki wamtu untuk menengok. Terakhir ibu datang ke anak bungsu di Jakarta. Dari tiga anak ibu, perlakuan yang ibu terima tak jauh berbeda. Mereka tidak menyukai kehadiranku di rumah mereka," ujar ibu sambil menahan isaknya.

Deg! Ternyata kisah yang dituturkan tak berbeda jauh dengan apa yang terjadi pada Bunda. Sebuah tamparan keras seolah mendarat di pipiku.

Begitu kejamnya aku kepada Bunda. Bunda pasti sangat terluka saat Mas Gani menolak untuk mengajaknya tinggal bersama kami tetapi Bunda menyimpan rasa itu sendiri dalam hatinya. Kerinduan padaku dan cucu-cucunya membuat Bunda sakit-sakitan.

Betapa tidak adilnya aku kepada Bunda. Seharusnya aku bisa memaksa Mas Gani untuk mengajak ibu tinggal dengan mereka. Hanya kasih sayang dariku dan cucu-cucunya yang dapat mengobati sakit Bunda, Aku harus mencari cara agar aku bisa merawat Bunda, sendiri. Aku tahu Mas Gani selalu menyuruhku untuk mengirimkan uang kepada ibu dalam jumlah yang cukup besar. Namun, aku yakin bukan hanya materi yang dibutuhkannya.

Aku memeluk si ibu dengan penuh kasih sayang. Aku ingin mengobati hatinya yang terluka karena ulah anak-anaknya.

Aku malu pada diriku sendiri. Aku jarang menengok Bunda. Apa yang aku alami cukup mengingatkan aku tentang kasih sayang seorang ibu yang sepanjang jalan sedangkan kasih sayang seorang anak kepada ibunya hanya sepanjang galah. Tak adil memang. Dalam kereta ini aku mendapat pembelajaran tentang kasih ibu.

Terima kasih ya ... allah, Kau beri peringatan kepadaku hari ini tentang cinta dan kasih kepada ibu.

 

"Engkau merawat ibumu sambil menunggu kematiannya, sementara ibumu merawatmu sambil mengharap kehidupan dan kebahagiaanmu." - Umar bin khattab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun