Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen 'Kehilangan'

5 Januari 2023   09:57 Diperbarui: 5 Januari 2023   13:55 2601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kematian merupakan sebuah kepastian. Tidak ada manusia yang bisa menjawab rumus kematian dengan pasti. Serahkan segala-galanya kepada Allah SWT." Nasihat Ummi Aisyah seraya membelai bahu Friska dengan lembut.

Friska hanya menundukkan kepala dan menahan isak tangis yang menyesakkan dadanya. Satu tahun lalu dia kehilangan ibunda karena kecelakaan tragis. Kini dia pun harus kehilangan ayah yang digerogoti penyakit yang mematikan.

Menyesal? Ya ... penyesalan Friska membuatnya terpuruk. Seharusnya dia tidak bersikap tidak adil pada ayah. Dia seharusnya menemani dan merawat ayah sejak kepergian bunda. Sikapnya yang membenci ibu tiri dan adik tirinya pasti sangat melukai hati Ayah dan pasti menambah berat penyakitnya itu. Namun, hati Friska tetap tidak bisa menerima kehadiran dua orang yang telah menyakiti hati bundanya.

Baca juga: Cerpen "Hijrah"

Setelah dirawat selama lima hari di ruang ICU Rumah Sakit Cinta Kasih, ayah menyerah. Padahal selama ini dia tidak pernah mengeluh tentang penyakitnya.

"Sebentar lagi, ambulans yang membawa jenazah Tuan akan tiba, Mbak Friska," ujar Pak Ujang memberitahukan.

"Ya, Pak Ujang. Terima kasih. Saya akan ke depan," jawab Friska seraya bangkit. Ummi Aisyah menemani Friska.

Friska menunggu jenazah Ayahnya di ruang tamu. Di sana sudah ada beberapa pelayat yang menunggu. Saat melihat Friska, mereka bangkit dan menyalaminya serta menguatkan hatinya. Friska hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada mereka.

Tak lama kemudian mobil jenazah datang di pelataran rumah Friska. Dia melihat Bu Fitria, ibu tiri dan Raihan, adik tirinya turun dari bagian belakang. Mereka mendekati Friska yang berada di ruang tamu.

"Sabar ya ... Friska. Ayah sudah tenang di sana." Bu Fitria memeluk Friska seraya menangis.

"Kakak, kita ikhlaskan Ayah pergi, ya," ujar Raihan

"Mengapa kalian di sini? Pergi! Pergi! Aku tidak mau melihat kalian di pemakaman ayah!" bentak Friska pada ibu sambung dan adik tirinya itu.

Ummi Aisyah menenangkan Friska dan menyuruh bu Fitria dan Raihan untuk menjauh dari Friska.

Beberapa petugas rumah sakit membawa jenazah Ayah ke ruang tengah. Di sana ada Ustaz Umar, beberapa orang jamaah mesjid dan para tetangga Friska. Mereka akan menyalatkan Ayah dan membacakan doa untuk almarhum Ayah.

Friska memandang ayah yang kini sudah terbujur kaku di hadapannya. Saat ini betul-betul dia merasakan kerinduan yang sangat mendalam pada ayahnya. Sejak kecil hingga saat dia akan kuliah ke Amerika, kedekatan keduanya kerap membuat Bunda cemburu. Figur seorang laki-laki yang dapat mengayomi, mencintai, menjadi sahabat buat anak semata wayangnya ada dalam sosok Ayah.

Ayah selalu memberikan motivasi di saat Friska sedang menghadapi masalah. Ayah juga membantu saat dia mengalami kesulitan pelajaran.

Friska ingat peristiwa yang menunjukkan jika Bunda cemburu kepada kedekatan mereka. Malam itu di teras belakang rumah, dia rebahan di amben yang ada di sana. Ayah duduk di kursi goyang yang ada di sampingnya. Kami berbicara santai seraya memuntahkan gelak tawa dari celoteh-celoteh kosong yang dibuat Ayah.

"Duh yang tertawa kok tidak bag-bagi, Bunda sih," seru Bunda yang tiba-tiba keluar dari rumah," Apa sih yang membuat kalian tertawa begitu?"

"Kasih tahu atau tidak ya," goda Ayah sambil memandang Friska jenaka.

"Kasih tahu, dong. Bunda juga ingin ikut tertawa, kan," bujuk Bunda sambil duduk di sampingku. Friska segera mengalihkan kepalanya ke pangkuan Bunda.

"Tidak usah, Yayah. Biar Bunda penasaran," seloroh Friska Mendengar ucapan Friska, Bunda memijit hidung Friska dengan keras.

"Ampun ... ampun, Yayah, please help me," teriak Friska sambil menjerit-jerit. Ayah tertawa melihat kejadian itu.

Hari ini betapa rindunya Friska dengan suasana keharmonisan mereka. Ayah, Bunda dan Friska adalah satu paket dan tidak dapat dipisahkan.

"Friska, Ayah akan dibawa ke pemakaman. Kamu masih ingin melihat wajah Ayah untuk yang terakhir kali?" tanya Bu Fitria sambil memegang tanganku.

Friska tahu, dia ingin menguatkan hatiku. Friska menepiskan tangan bu Friska dan mendorongnya.

"Pergi sana! Jangan mendekati Ayah," teriak Friska sambil menangis. Friska benar-benar tidak mau melihat ibu trinya itu. Dia terlalu sakit hati karena ayah selingkuh dengan perempuan itu.

"Neng kasihan, Ayah," ujar Mbok Nah sambil menggamit tubuhnya dan  melihat jenazah Ayah. Pak Umar membuka bagian kepala Ayah yang tertutup. Friska memeluk tubuh Ayahnya seraya menahan tangis. Setelah itu, Ummi Aisyah dan Mbok Nah membimbingnya dan mejauh dari jasad Ayah.

Friska menatap jasad Ayah yang dimasukan ke dalam keranda. Hampa ... entah rasa apa yang kini sedang bersemayam di hatinya. Kepergian kedua orang tuanya yang berjarak tidak terlalu jauh, membuat kesedihannya terus berlarut-larut.

Friska menatap Bu Fitria dan Raihan yang berdiri tak jauh darinya. Apakah dia harus terus memendam perasaan marah dan benci kepada mereka? Rasanya tidak adil buat mereka jika Friska terus memelihara kebencian itu. Biarlah waktu yang akan menyembuhkan lukanya. Untuk saat ini, Friska belum bisa menerima kehadiran mereka. Di lubuk hatinya hanya ada Bunda dan Ayah, sosok orang tua yang sangat dia sayangi dan tak akan bisa tergantikan,

Mentari tampak redup. Awan suram menemani prosesi pemakaman Ayah. Suasana sedih meliputi pemakaman terutama saat jenazah ayah akan dimasukan ke liang lahat. Bu Fitria dan Raihan menangis histeris. Friska berusaha tegar dan menahan tangisnya.

"Pergilah Ayah ... kembalilah ke pangkuan-Nya dengan tenang.," batin Friska di sela tangisnya.

Rabbighfir l, wa li wlidayya, warham hum kam rabbayn shaghr.

Cibadak, 5 Januari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun