"Bunda tetap tidak mau membelikan lagi sepatu. Takutnya mubazir. Kamu 'kan tahu jika ada barang mubazir, kita termasuk teman setan," tegas Bunda kembali," Ayo, kita pulang. Ayah dan Kak Tia pasti sudah menunggu."
Sampai malam hari aku tetap merajuk dan mengurung diri di dalam kamar. Aku tidak mau makan malam. Tujuanku agar Bunda dapat memenuhi keinginanku. Biasanya dengan cara ini, keinginanku selalu dikabulkan.
Tok ... tok ... tok ..., suara pintu terdengar keras. Aku melihat Kak Tia membawa sepiring nasi dan ayam goreng kecap kesukaanku.
"Hai! Adikku sayang. Ini kakak bawakan makanan kesukaanmu. Kamu makan, ya." Kak Tia membujukku yang sedang meringkuk di kasur.
Aku diam saja. Padahal, perutku sangat lapar. Akan tetapi, aku tidak mau mengubah keputusanku. Bunda harus bisa memenuhi keinginanku.
"Dik Nandia, Sayang. Kakak suapi, ya," bujuk Kak Tia pelan. Aku tetap diam saja. Sikapku membuat Kak Tia menyerah dan akhirnya keluar.
Aku melihat Kak Tia meninggalkan nasi dan air minum di meja belajarku. Aku segera bangun dan menghabiskan makanan itu. Â Perutku sangat lapar gegara aksi protes ini. Aku tak menyadari jika Kak Tia mengintip perbuatanku dari pintu sambil tersenyum.
***
Keesokan harinya, aku berangkat ke sekolah sendiri. Ayah, Bunda, dan Kak Tia sudah berangkat pagi-pagi. Kebetulan sekolahku dekat sehingga aku bisa berangkat agak siang. Sekolahku dapat kutempuh dalam waktu sepuluh menit karena jaraknya yang dekat dengan rumah.
Setelah berpamitan pada Mbok Nah, aku berjalan kaki ke sekolah. Saat tiba di gerbang sekolah, aku melihat sahabatku, Reni, sedang menunduk lesu.
Reni sahabatku sejak kelas satu. Dia sangat pandai sehingga kami sering belajar bersama. Meskipun Reni berasal dari keluarga yang kurang mampu, aku senang bermain dengannya.