Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novela Bagian 3: Haruskah Luka Bersemayam di Dada?

30 Mei 2022   09:40 Diperbarui: 30 Mei 2022   09:44 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novela . Sumber: dok.pri by Canva

Saat Karina tahu bahwa kedua orang tuanya sama-sama melakukan perselingkuhan, hal itu menjadi  yang maha dahsyat baginya. Peristiwa yang telah menorehkan luka dan mengoyak seluruh asa yang ada dalam sanubarinya.

Betapa Karina sangat terguncang begitu mendengar Ayah dan Bunda yang selalu penuh kasih sayang, kini harus saling menyakiti. Tak terlihat lagi sorot mesra saat mereka saling memandang seperti yang dia lihat selama ini.

Selama ini mereka sangat romantis dan saling menghargai. Tak sekali pun Karina mendengar kata- kata kasar yang keluar dari mulut Ayah maupun Bunda. Mereka selalu bertutur kata lembut penuh santun.

Namun, kini semuanya berubah. Kejadian semalam telah membukakan mata Karina bahwa tak ada lagi kasih sayang dan cinta di antara keduanya. Karina melihat kebencian dan amarah di mata mereka. Kini semua kebahagiaan yang pernah tercipta di rumah ini telah berubah menjadi prahara.

Karina paham bahwa segala sesuatu di dunia ini akan berubah. Namun, dia tidak paham jika kasih sayang yang dimiliki oleh kedua orang tuanya pun ikut berubah hanya satu alasan dan ego saja. Alasan ayah ingin mempunyai anak laki- laki menurutnya bukan hal yang sangat penting. Menurutnya keinginan ayahnya itu sebatas rasa ego dan syahwat yang tak terkendali.

Ingin memiliki anak laki-laki? Semudah itukah Ayah melupakan rasa cinta yang selama ini ada untuk Bunda? Kemana perginya rasa itu? Lalu apa artinya kehadiran dirinya bagi Ayah? Anak yang sudah berusaha sekuat tenaga agar dapat membanggakan untuk kedua orang tuanya.

Karina pun tak membenarkan sikap Bunda yang membalaskan sakit hatinya dengan perbuatan yang tak bermoral. Bunda yang selama ini dikenal sebagai wanita penyabar telah berubah. Karina tahu betapa sakit hati Bunda saat mengetahui Ayah mendua. Mengapa perselingkuhan yang sama pun dilakukan oleh Bunda?

Dan yang membuat Karina merasa aneh, masalah ini baru dia ketahui padahal dia sudah satu tahun kembali ke Indonesia. Ayah dan Bunda berhasil menutupi perbuatan mereka darinya selama ini. Mengapa pula mereka tak menceritakan saat dirinya berada di Amerika?

Karina memandang mentari yang diam-diam menerobos masuk ke dalam kamarnya. Biasnya memberikan cahaya ke dalam ruang kamarnya yang gelap. Rupanya hari sudah sangat siang. Angka di jarum jam dinding sudah menunjukkan angka 9.

Semalam Karina memang tidak tidur. Dia baru tertidur setelah menjalankan salat Subuh. Pertengkaran Ayah dan Bundanya menguras perasaannya. Penat dan lelah hatinya membuat sekujur tubuhnya lemas.

Kemudian Karina bangkit dan membuka jendela kamar. Dia berharap agar cahaya mentari dan udara pagi memberikan energi positif buatnya.

Banyak pertanyaan yang muncul dalam benak Karina. Siapa wanita yang telah menempati hati Ayahnya kini? Sejak kapan Ayah menikahinya? Siapa pula lelaki yang telah menggoda ibunya?

Dia harus mencari jawaban kepada Mbok Nah. Mbok Nah pasti mengetahui semua kejadian di rumah ini selama Karina berada di Amerika.

Karina keluar dari kamar dan mencari Mbok Nah di dapur. Biasanya wanita itu sedang menyiapkan sarapan untuk kami. Benar saja, Karina melihat Mbok Nah sedang memasak. Bau masakannya membuat perut Karina berbunyi.

"Eh ... Neng Karin sudah bangun?" Mbok Nah menyambutku dengan senyum ramahnya.

"Ya, Mbok. Lapar nih," ujar Karin seraya memegang perutnya.

"Mbok akan membuatkan  nasi goreng spesial kesukaanmu, ya?" tawar Mbok Nah sambil memandang Karina.

Mbok Nah memang selalu perhatian kepada Karina. Wanita paruh baya ini pula yang sejak kecil merawat dan menemaninya. Sebagai anak satu-satunya tentu saja Karina kerap merasa kesepian. Saat itulah Mbok Nah selalu mengajak bermain atau pula belajar mengaji. Dari beliaulah aku bisa mengaji.

"Ayah dan Bunda tidak terlihat, Mbok? Kemana mereka?" Karina berkata sambil mencomot pisang goreng di meja makan.

"Semalam mereka tidak pulang, Neng. Setelah bertengkar semalam, Tuan dan Nyonya pergi dengan kendaraan masing- masing. Kata Pak Parmin sih sampai sekarang belum pulang,' jelas Mbok Nah.

Karina menghela nafas panjang. Dia ingin melepaskan beban berat di hatinya.

"Mbok, sejak kapan mereka berubah begini? Mengapa semuanya merahasiakan masalah ini kepadaku?" tanya Karina pelan.

Mbok Nah tidak menjawab. Dia sudah dipesan oleh kedua juragannya untuk tidak menceritakan masalah ini kepada Karina.

"Kok diam, Mbok? Ceritakan saja semuanya kepada Karin. Toh sekarang Karin sudah mengetahui semuanya. Hanya heran saja, mereka menyembunyikan masalah sebesar ini dari aku, anaknya sendiri." Karina memandang Mbok Nah tajam sambil menuntut jawaban dari wanita itu.

"Kapan tepatnya Si Mbok ora mudeng, Neng. Hanya satu tahun lalu, sebulan sebelum Neng Karin pulang, datang seorang perempuan muda ke rumah ini. Dia menemui nyonya. Si Mboktidak tahu apa yang mereka obrolkan hanya beberapa saat nyonya marah- marah sambil mengusir tamu perempuan dan anak itu." Mbok Nah menjelaskan sambil terus membuat nasi goreng untuk Karina.

"Terus ... apa kelanjutannya?' tanya Karina penasaran.

"Nih... sambil sarapan mendengarnya," kata Mbok Nah sambil menyerahkan sepiring nasi goreng dengan topping telur dadar dan salad sayur," Waktu Mbok Nah mendekati, Nyonya sedang menangis seraya memegang foto pernikahan. Selintas Mbok melihat itu foto Bapak dan perempuan itu dalam pakaian pengantin."

"Itu artinya Ayah menikahi perempuan itu diam- diam dan tidak meminta izin dulu kepada Bunda. Pantas jika Bunda marah dan sakit hati," ujar Karina sewot.

"Apa yang terjadi setelah itu, Mbok? Apakah mereka bertengkar?" Karina bertanya kembali kepada Mbok Nah.

"Anehnya Nyonya tidak marah, Neng. Hanya saja sikapnya berubah kepada Tuan. Nyonya ...." Mbok Nah menjelaskan dengan ragu-ragu.

"Maksudnya aneh, bagaimana, Mbok?" tanya Karina tak sabar.

"Nyonya jarang berbicara dengan Tuan lalu sering pulang malam. Terakhir Tuan memergoki Nyonya sedang berjalan dengan seorang laki-laki di Mall Taman Anggrek. Nyonya bergaul seperti nyonya-nyonya sosialita gitu...." Mbok Nah terlihat hati- hati menjelaskan itu kepada Karina.

Karina memahami sikap Bunda. Bunda membalas perlakuan Ayah dengan cara seperti itu. Anehnya awalnya Bunda tidak pernah bergaul dengan teman-temannya yang seperti itu. Bunda lebih senang berada di rumah dan melakukan kegiatan di rumah. Tetapi kali ini sikapnya berubah drastis. Bunda tidak betah tinggal di rumah.

Yang parahnya lagi, Karina tidak melihat perubahan sikap kedua orang tuanya karena sejak pulang dari Amerika dirinya dipercaya memegang anak perusahaan Ayah. Dia masih baru sehingga harus beradaptasi dan belajar mengelola perusahaan itu dengan baik. Hal itu yang menyebabkan dia sering pulang malam dan jarang bertemu dengan ayah dan Bunda. Karina menyesal mengapa dirinya tidak bisa menangkap perubahan sikap kedua orang tuanya.

Penyesalan memang tak pernah ada di awal kejadian. Percuma Karina menyesali semua yang sudah terjadi. Kini yang harus dilakukan adalah cara dia menyelesaikan prahara di rumahnya itu.

Sejatinya Karina ingin keluarganya utuh seperti dulu. Mereka saling menyayangi dan mengasihi. Semua anggota keluarga saling berbagi dan menghargai. Namun, Karina tahu upayanya tak akan mudah. Ibarat cermin pecah, meskipun dapat direkatkan kembali, bekas retakannya itu akan terus membekas. Begitu juga dengan keluarga ini...

"Aku mau ke kamar dulu, Mbok Nah. Kepalaku pusing menghadapi masalah seperti ini," ujarku sambil berlalu ke kamar.

Saat di kamar Karina mencoba untuk menghubungi Bunda. Sayangnya Bunda tak mau menjawab teleponnya meskipun terdengar nada dering. Berkali- kali Karina mencoba menelepon Bunda, tetapi usahanya gagal. Bunda tidak mau menerima telepon darinya.

Kemudian Karina menelepon ayahnya. Hal yang sama terjadi, ayah tidak mau menerima telepon dari Karina. Karina sudah tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Segera dia mengambil air wudu dan bergegas menjalankan salat duha agar hatinya tenang. Karina memohon petunjuk dari pemilik hati manusia, Allah SWT yang maha membolak- balikan hati manusia.

Karina menangis dalam sujudnya yang panjang. Sementara itu mentari mulai merangkak menjemput siang.

Baca bagian sebelumnya di sini

Bagian 1

Bagian 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun