Awalnya suami bu Tias menolak karena merasa putrinya itu memang belum waktunya saja memiliki kemampuan berbicara. Namun bu Tias memaksa suaminya untuk mengantarkannya ke klinik tumbuh kembang anak.
Di klinik tersebut, putri bu Tias diobservasi oleh dua orang dokter, yakni dokter anak dan dokter rekam medik. Setelah observasi putri bu Tias dirujuk ke dokter THT untuk diperiksa dan tes OAE.Â
Sulit sekali menyuruh putrinya  tidur agar hasil tes OAE-nya valid. Setelah hasil tes OAE keluar, dokter THT mendiagnosa bahwa putri bu Tias mengalami gangguan pendengaran sejak lahir.
Saat itu ibu Tias merasa kaget dan lemas seluruh tubuhnya. Dokter menguatkan bu Tias agar menerima semua kenyataan dan mulai mencari cara untuk mengubah pola didik putrinya. Dokter juga memotivasi bu Tias bahwa banyak anak yang deaf bisa mencapai kesuksesan.
Untuk meyakinkan kondisi putri bu Tias, dokter merujuk ke Hearing Center Bandung agar putrinya itu mengikuti tes Bera. Tes Bera di Hearing Center tersebut. Tes Bera berguna untuk mendiagnosis masalah sistem saraf dan gangguan pendengaran (terutama pada bayi baru lahir dan anak-anak), menemukan seberapa baik sistem saraf bekerja, memeriksa kemampuan pendengaran orang yang tidak lolos tes pendengaran lain.
Dari tes bera ini diketahui bahwa ambang dengar telinga kanannya 80 dB dan telinga kiri 70 dB. Untuk memaksimalkan sisa pendengaran, dokter menyarankan untuk menggunakan alat bantu mendengar.
Saat salah satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain terbuka. Hanya seringkali kita terpaku begitu lama pada pintu yang tertutup sehingga tak melihat yang telah terbuka untuk kita. (Hellen Keller)
Pola Didik Anak Deaf
Awalnya benar-benar menyakitkan kala putri kecilnya dinyatakan memiliki masalah pendengaran. Suaminya melarang Bu Tias menceritakan masalah ini kepada orang lain. Entah apa alasan jika bu Tias harus menutupi tentang kekurangan putrinya. Mereka tidak perlu malu jika putri kecilnya memiliki kekurangan. Orang tua hendaknya bangkit dari keterpurukan kemudian menerima kondisi anak dengan ikhlas. Setelah itu carilah solusi agar anak dapat berkembang dengan lebih baik lagi.
Berikan terapi yang sesuai dengan masalah
Bu Tias kemudian mendaftarkan putrinya ke terapi wicara agar dia dapat memaksimalkan sisa pendengarannya. Awal terapi putri kecilnya selalu menangis histeris apalagi di kedua telinganya terpasang alat bantu dengar. Dia memaksakan hatinya dan membiarkan putrinya bersama terapis. Bu Tias kerap menyembunyikan air matanya saat mendengar anaknya menangis. Saat terapi, si anak memang tidak boleh didampingi oleh orang tuanya agar mandiri dan fokus.
Putri bu Tias mengikuti terapi dua kali seminggu. Otomatis mereka harus bisa membagi waktu antara pekerjaan dan mengantar terpai. Setelah dua bulan mengikuti terapi putri kecil bu Tias sudah mulai nyaman. Sesekali bu Tias bisa melihat cara terapis mengajar putrinya memahami konsep dan mengucapkan kata.
Kemudian bu Tias melakukan apa yang dilakukan oleh terapis. Dia malah menciptakan metode belajar sendiri yang menyenangkan dengan media-media belajar yang diciptakannya. Progres putri kecilnya sangat cepat. Hal itu dikatakan oleh terapisnya jika kosa kata yang dikuasai putrinya sudah sangat banyak.
Tumbuhkan kompetensi sosialnya dengan memberikan kesempatan bergaul dengan banyak orang