Membahagiakan orang lain adalah sebuah ibadah. Sebaik-baiknya manusia adalah tatkala dia menerima takdir dengan ikhlas dan tatkala dia bisa bermanfaat untuk orang lain.
Puluhan orang memenuhi  lapangan desa. Malam itu cukup cerah. Bulan bersinar dengan sumringah.  Wajar jika banyak pengunjung mendatangi pasar malam yang digelar di lapangan tersebut. Pasar malam yang selalu ditunggu oleh penduduk desa sebagai tempat untuk melepas lelah yang murah meriah.
Beberapa wahana permainan diserbu pengunjung. Suara teriakan riuh terdengar dari wahana ombak banyu dan kora-kora. Deru motor yang di gas poll pun menambah semarak suasana di pasar malam itu. Meriahnya pasar malam ditambah dengan kilauan cahaya lampu di beberapa lokasi serta suara musik dangdut yang diputar oleh beberapa pedagang.
Di sudut kanan lapangan, beberapa anak sedang berfoto ria dengan badut karakter Power Ranger. Tokoh kartun itu sangat digemari anak-anak karena selalu membela kebenaran. Suasana pasar malam memang sangat meriah. Meriahnya pasar malam  berakhir di ujung malam.
Lepas tengah malam, Badut itu lunglai di lantai rumah reyot yang tak berdinding. Dari balik rumahnya, badut itu memandang langit yang cerah meski hidupnya tak secerah rembulan. Sementara suasana rumah sangat sunyi karena hanya dia yang tinggal sendirian di rumah itu. Ya, badut itu adalah aku.
Aku adalah badut yang selalu menjelma menjadi sosok lucu buat kebanyakan orang. Aku yang selalu menjadikan diriku orang lain, dan tak kukenali agar dapat membuat mereka tersenyum. Aku harus selalu menampilkan atraksi agar para penonton berseri-seri. Badut yang selalu lupa bahwa ada lara yang menyelimuti dada.
Aku harus membuat orang tertawa meski hatiku tengah berduka. Setiap malam ku poles bibir merah, ku rias wajah dan mata. Aku harus berpura-pura perkasa dengan kostum super hero-ku. Â Setiap malam ku tatap cermin yang membiaskan bayangan yang tak ku kenal. Itu bukan diriku.
Di balik kostum power ranger-ku, aku hanyalah laki-laki tak berdaya. Tubuhku renta. Usia ku mungkin tak akan lagi lama. Kini aku memang sudah menua. Namun aku tetap setia menjadi penghibur sesama.
"Sugeng ndalu, Pak Amat," sapa seseorang yang lewat di depanku.
"E... mas Dewo. Mau ke mana?" tanyaku sambil tersenyum.
"Mau ke tempat le Diman. Katanya dia sakit," jawab mas Dewo.
"Sakit opo, to si Diman?" tanyaku lagi.
"Boten ngertos pak Amat. Monggo pak," ujar mas Dewo sambil berlalu.
Kemudian aku kembali memandang bintang-bintang di langit. Di sana tergambar kisah hidupku yang penuh kepahitan. Anak dan istriku harus meninggalkan aku karena aku sudah tak memiliki apa-apa.
Aku termasuk salah satu karyawan yang terkena PHK. Aku tidak tahu harus mencari pekerjaan apa lagi. Kemudian aku mencoba usaha  baru dengan membuka kafe di depan rumah. Namun usaha itu tak berlangsung lama. Aku kalah bersaing dengan pengusaha-pengusaha kafe yang menjanjikan beberapa fasilitas menarik. Akhirnya usahaku gulung tikar dan uang pesangonku habis.
Akhirnya istri dan anakku meninggalkan aku karena aku tidak bisa menafkahi mereka sesuai dengan harapan mereka. Aku menerima keputusan itu dengan ikhlas karena kenyataannya aku memang tidak bisa memberikan mereka kemewahan seperti yang selalu diminta mereka.
Sejak saat itu aku bekerja serabutan. Apa pun pekerjaan yang ditawarkan akan aku kerjakan asalkan halal. Aku tak malu menjadi kuli panggul di pasar. Aku juga bersedia menjadi kuli bangunan. Aku tetap berprinsip mencari rejeki dengan cara halal.
Suatu hari aku bertemu dengan mas Karmin, seorang pemilij usaha sirkus keliling. Dia menawarkan aku pekerjaan. Aku menerima tawaran itu dengan senang hati. Sejak saat itu aku berkeliling ke beberapa kota di pulau Jawa ini.
Awalnya aku membantu menyiapkan perizinan bila akan mengadakan pertunjukan di suatu tempat. Aku juga membantu untuk mempromosikan sirkus itu ke beberapa daerah.
Hingga suatu hari, Aden yang biasa menjadi badut harus kembali ke kampungnya karena istrinya sedang sakit keras. Akhirnya mas Karmin meminta aku untuk menggantikan Aden sementara waktu.
Saat itu aku menerima karena aku berpikir apa sih sulitnya mengenakan pakaian badut. Ternyata apa yang kupikirkan tidaklah sama dengan kenyataannya. Aku harus bisa membuat anak-anak tertawa dan tidak takut pada badut.
Awalnya memang sulit namun semakin lama aku terbiasa dengan kostum badut itu. Berbagai upaya ku lakukan agar bida membahagiakan para pengunjung sirkus. Aku belajar atraksi akrobat dan bermain sulap kepada cak Simin. Akhirnya aku menjadi badut favorit sirkus itu.
Kini usiaku semakin senja. Aku sudah tak bisa lagi ikut berkeliling. Aku juga sudah tak mampu lagi berakrobat untuk melengkapi atraksiku. Akhirnya aku memutuskan untuk menetap di desa ini. Kebetulan si mbok meninggalkan aku sebidang tanah dan bangunan yang bisa ku tinggali.
Aku tetap menjadi badut meskipun hanya di daerah-daerah yang tidak terlalu jauh. Aku masih bisa menghibur para pengunjung. Aku masih mampu menghadirkan tawa ceria dari anak-anak meskipun aku harus menutupi duka ku sendiri. Inilah hidupku yang harus kuterima dengan ikhlas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI