Mohon tunggu...
Antonina Suryantari
Antonina Suryantari Mohon Tunggu... Guru - Seorang pengajar Bahasa yang suka menulis

Saya adalah seorang pengajar bahasa yang sedang belajar menulis lebih banyak. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Google dan Pertanyaan di Kelas

29 Agustus 2020   14:27 Diperbarui: 29 Agustus 2020   14:15 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Virus Corona dan Paru-paru

Saya masih ingat sewaktu masih SMA, ada beberapa guru yang mencoba kegiatan diskusi di kelas dengan memberi kesempatan murid-muridnya bertanya soal apa saja. Belum banyak guru yang menggunakan kegiatan diskusi di dalam kelas di akhir tahun 90an. Saya ingat saya sok-sokan bertanya soal nasionalisme seputar referendum Timor Leste yang waktu itu sedang ramai diperbincangkan. 

Saya ingat bahwa saya sebetulnya juga tidak terlalu mengerti masalah Timor Leste waktu itu. Mungkin karena hampir setiap hari mendengar berita soal Timor Leste dan merasa perlu mempertahankan lagu Dari Sabang sampai Merauke, saya sok ikut bertanya. 

Google belum ada waktu itu. Sumber kami ya sebatas koran dan berita televisi saja. Itupun hampir semua isinya sama. Jaman sekarang, sebuah informasi sering dibahas dari berbagai sudut dan bukan hal yang sulit menemukan berbagai ulasan informasi. Saya ingat guru saya mengangguk-angguk mendengar pertanyaan saya. Saya tetapi tidak ingat bagaimana selanjutnya diskusi tersebut berjalan. 

Waktu itu, bertanya bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Hal pertama yang paling sulit bagi saya sendiri adalah mengalahkan rasa gugup ketika dilihat banyak orang saat saya mengajukan pertanyaan. Saya lahir dan tumbuh di jaman 'diamlah saja'. Di sekolah, saya merasa dilihat berdasarkan berapa jumlah soal benar yang saya kerjakan. 

Saya rasa banyak praktik sekolah yang sudah berubah. Salah satu sekolah yang percaya bahwa belajar itu dimulai dari bertanya dan sangat mendorong murid-muridnya untuk bertanya adalah SDE Mangunan, Yogyakarta. Salah satu kegiatan ciri khasnya adalah koper atau kotak pertanyaan di mana semua anak bebas bertanya dan memasukkan pertanyaan mereka ke dalam kotak untuk kemudian dibahas bersama di dalam kelas.

Saya termasuk yang percaya bahwa benar belajar itu mulai dari bertanya. Namun demikian, semenjak Google memiliki hampir semua jawaban dari pertanyaan kita, saya jadi meragukan apakah keindahan bertanya dan menjawab bersama itu akan tetap bisa hidup. Saya sendiri belum pernah mengikuti kegiatan luring koper SDE Mangunan. 

Pertanyaan saya tentang keindahan bertanya dan menjawab baru muncul ketika sekolah mulai dijalankan secara daring. Koper diajukan dalam grup WA orangtua, lalu anak menjawab lewat pesan suara atau gambar. Lha kalau ditanyakan secara daring, kan gampang saja ya cari lewat Google. Jawaban semua anak hampir sama semua pula, serunya di mana?

Kemudian, saya sendiri mencoba ikut menikmati koper. Di awal menjawab pertanyaan dari teman-teman secara daring, saya meminta anak saya untuk melihat video tentang topik yang ditanyakan. Kemudian saya memintanya untuk menggambar apa yang ditanyakan dan menuliskan jawaban di sekitar gambar. 

Sesungguhnya saya hanya ingin membuat dia mengerti bahwa ini tidak sekedar menjawab pertanyaan, tetapi sungguh ada hal baru yang bisa dipelajari. Kami sempat menggambar matahari ketika seorang temannya bertanya soal usia matahari. Sebelum menjawab pertanyaan teman tersebut, saya mencoba mengajaknya melihat lebih jauh kapan matahari mati. Dia sempat melihat banyak video, bahkan sempat bertanya soal supernova segala. 

Emaknya tentu saja tidak siap. Hehe. Kami juga sempat menggambar paru-paru dan bagaimana virus corona bisa membunuh manusia. Ternyata asyik juga ya. Anak saya tidak suka mewarnai gambar, jadi kami berkolaborasi. Saya sendiri jadi punya kegiatan refreshing lewat kegiatan mewarnai ini. Hmm, ternyata ya tetap ada belajarnya ya koper daring ini, rasa menyenangkannya juga tidak hilang dan bisa dinikmati bersama.

Hal lain yang ternyata juga menarik untuk diikuti saat koper daring adalah melihat tanggapan dari orangtua lain berkaitan dengan jawaban yang diberikan murid di dalam kelas. Pernah suatu kali, ada seorang teman yang bertanya soal binatang apa saja yang ada di laut dalam. Karena anak saya adalah penutur dua bahasa yang belum fasih, menjawab langsung lewat pesan suara bukan perkara mudah untuknya. Dia mencampur dua bahasa dalam jawabannya. 

Kami berkali-kali menghapus pesan suara yang salah. Salah satu orangtua murid menulis, "Ayo semangat." Yang kemudian diikuti beberapa orangtua lain. Anak saya senyum-senyum mendengar saya membacakan pesan dari papa mama teman-temannya. Dia akhirnya berhasil membuat pesan suara tanpa merekam dulu. Sering juga ada anak-anak yang memilih menuliskan jawaban mereka, dan orangtua lain memuji kerapian tulisan anak. Belajar dalam komunitas besar ternyata menyenangkan dan itu semua terjadi dari bertanya. 

Ketika dia naik ke kelas 3, pembelajaran masih dilakukan secara daring. Kegiatan koper masih berjalan. Untuk pertama kalinya, pertanyaan anak saya menjadi salah satu pertanyaan yang ditanyakan kepada teman-teman. Dia bertanya soal mengapa ada pisau di ujung senapan laras panjang. 

Pertanyaan ini timbul ketika melihat upacara peringatan hari ulang tahun kemerdekaan RI di televisi. Sebetulnya ya ini bisa ditanyakan pada kakek Google dengan mudah, tetapi saya membiarkan dia menanyakan ini dalam refleksi hari kemerdekaan Ri miliknya. Saat dia kelas dua, dia pernah kesulitan mencari pertanyaan.

Setiap dia bertanya, saya selalu bisa menjawab pertanyaannya. Sampai akhirnya dia berkata, "Shhshh, don't answer me. " Saya tertawa melihatnya dan membiarkan dia bertanya. Betul juga ya, kok ya saya masih belum bisa paham bahwa bertanya itu bukan melulu soal mendengar jawaban lalu puas. Dia mau bertanya kepada guru dan teman-temannya. Dan saya tidak boleh sok-sokan tahu semua hal juga ya. Maka ketika dia mau bertanya soal pisau di ujung senapan ini, saya tidak menjawab pertanyaannya segera.

Saya memintanya mendengarkan jawaban teman-temannya, kemudian membuat kesimpulan. Hampir semuanya menjawab bahwa pisau di ujung senjata bernama sangkur dan berfungsi sebagai senjata pertahanan terakhir saat musuh sangat dekat. Pisau dan senapan kemudian berfungsi seperti tombak. 

Saat mendengarkan jawaban ini, dia menemukan sesuatu. Dia bilang, "Oh, when the enemy is closed to you, you don't get time to shoot, iya?" (Kalau musuh dekat, tidak ada waktu untuk menembak kan ya.) Oh, betul juga ya. Senjata laras panjang tidak seperti laras pendek yang bisa digunakan dengan lebih mudah di jarak dekat. Ternyata memang bertanya itu bisa membuat kita berlatih menganalisa jawaban, menyimpulkannya, dan mungkin menemukan jawaban baru.

Mengapa ada pisau di ujung senjata laras panjang?
Mengapa ada pisau di ujung senjata laras panjang?
Lalu kembali lagi, kalau sudah ada Google, bagaimana nasib kegiatan bertanya di kelas? Jawabannya, ya baik-baik saja. Selama setiap anggota kelas termasuk pendamping di rumah (dalam pembelajaran jarak jauh, peran pendamping di rumah sangat kuat) menyadari bahwa bertanya itu indah dan menyenangkan, maka kegiatan bertanya akan terus hidup dan membantu banyak anak untuk mekar dan tumbuh. Jadi sudahkah kita semua menikmati bertanya untuk mekar dan tumbuh?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun