Saya masih ingat sewaktu masih SMA, ada beberapa guru yang mencoba kegiatan diskusi di kelas dengan memberi kesempatan murid-muridnya bertanya soal apa saja. Belum banyak guru yang menggunakan kegiatan diskusi di dalam kelas di akhir tahun 90an. Saya ingat saya sok-sokan bertanya soal nasionalisme seputar referendum Timor Leste yang waktu itu sedang ramai diperbincangkan.Â
Saya ingat bahwa saya sebetulnya juga tidak terlalu mengerti masalah Timor Leste waktu itu. Mungkin karena hampir setiap hari mendengar berita soal Timor Leste dan merasa perlu mempertahankan lagu Dari Sabang sampai Merauke, saya sok ikut bertanya.Â
Google belum ada waktu itu. Sumber kami ya sebatas koran dan berita televisi saja. Itupun hampir semua isinya sama. Jaman sekarang, sebuah informasi sering dibahas dari berbagai sudut dan bukan hal yang sulit menemukan berbagai ulasan informasi. Saya ingat guru saya mengangguk-angguk mendengar pertanyaan saya. Saya tetapi tidak ingat bagaimana selanjutnya diskusi tersebut berjalan.Â
Waktu itu, bertanya bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Hal pertama yang paling sulit bagi saya sendiri adalah mengalahkan rasa gugup ketika dilihat banyak orang saat saya mengajukan pertanyaan. Saya lahir dan tumbuh di jaman 'diamlah saja'. Di sekolah, saya merasa dilihat berdasarkan berapa jumlah soal benar yang saya kerjakan.Â
Saya rasa banyak praktik sekolah yang sudah berubah. Salah satu sekolah yang percaya bahwa belajar itu dimulai dari bertanya dan sangat mendorong murid-muridnya untuk bertanya adalah SDE Mangunan, Yogyakarta. Salah satu kegiatan ciri khasnya adalah koper atau kotak pertanyaan di mana semua anak bebas bertanya dan memasukkan pertanyaan mereka ke dalam kotak untuk kemudian dibahas bersama di dalam kelas.
Saya termasuk yang percaya bahwa benar belajar itu mulai dari bertanya. Namun demikian, semenjak Google memiliki hampir semua jawaban dari pertanyaan kita, saya jadi meragukan apakah keindahan bertanya dan menjawab bersama itu akan tetap bisa hidup. Saya sendiri belum pernah mengikuti kegiatan luring koper SDE Mangunan.Â
Pertanyaan saya tentang keindahan bertanya dan menjawab baru muncul ketika sekolah mulai dijalankan secara daring. Koper diajukan dalam grup WA orangtua, lalu anak menjawab lewat pesan suara atau gambar. Lha kalau ditanyakan secara daring, kan gampang saja ya cari lewat Google. Jawaban semua anak hampir sama semua pula, serunya di mana?
Kemudian, saya sendiri mencoba ikut menikmati koper. Di awal menjawab pertanyaan dari teman-teman secara daring, saya meminta anak saya untuk melihat video tentang topik yang ditanyakan. Kemudian saya memintanya untuk menggambar apa yang ditanyakan dan menuliskan jawaban di sekitar gambar.Â
Sesungguhnya saya hanya ingin membuat dia mengerti bahwa ini tidak sekedar menjawab pertanyaan, tetapi sungguh ada hal baru yang bisa dipelajari. Kami sempat menggambar matahari ketika seorang temannya bertanya soal usia matahari. Sebelum menjawab pertanyaan teman tersebut, saya mencoba mengajaknya melihat lebih jauh kapan matahari mati. Dia sempat melihat banyak video, bahkan sempat bertanya soal supernova segala.Â
Emaknya tentu saja tidak siap. Hehe. Kami juga sempat menggambar paru-paru dan bagaimana virus corona bisa membunuh manusia. Ternyata asyik juga ya. Anak saya tidak suka mewarnai gambar, jadi kami berkolaborasi. Saya sendiri jadi punya kegiatan refreshing lewat kegiatan mewarnai ini. Hmm, ternyata ya tetap ada belajarnya ya koper daring ini, rasa menyenangkannya juga tidak hilang dan bisa dinikmati bersama.
Hal lain yang ternyata juga menarik untuk diikuti saat koper daring adalah melihat tanggapan dari orangtua lain berkaitan dengan jawaban yang diberikan murid di dalam kelas. Pernah suatu kali, ada seorang teman yang bertanya soal binatang apa saja yang ada di laut dalam. Karena anak saya adalah penutur dua bahasa yang belum fasih, menjawab langsung lewat pesan suara bukan perkara mudah untuknya. Dia mencampur dua bahasa dalam jawabannya.Â