Mohon tunggu...
NINA KARINA ZAI
NINA KARINA ZAI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA MAGISTER AKUNTANSI

NIM : 55523110029 | Program Studi : Magister Akuntansi | Fakultas : Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana | Pajak Internasional | Dosen : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Diskursus Arendt pada Fenomena Pajak Internasional dan Kondisi Manusia (The Human Condition)

23 Desember 2024   23:00 Diperbarui: 23 Desember 2024   23:00 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dok Pribadi Prof Appolo

Dalam The Human Condition, Arendt menggambarkan labour sebagai aktivitas yang esensial untuk keberlangsungan hidup. Namun, dalam konteks pajak internasional, kelompok animal laborans sering kali menjadi korban ketidakadilan. Sebagai contoh:

  • Tax treaty antara negara maju dan negara berkembang sering kali menguntungkan pihak yang lebih kuat. Negara seperti Panama, Pandora, dan Paradise menjadi surga pajak (tax haven), memungkinkan perusahaan multinasional menghindari kewajiban pajak di negara asal mereka. Ketidakadilan ini mengakibatkan negara berkembang kehilangan potensi pendapatan pajak yang signifikan.

  • Ketimpangan pajak ini mencerminkan eksploitasi kelompok pekerja yang harus menanggung beban pajak lebih berat dibandingkan entitas besar yang dapat memanfaatkan celah hukum. Kelompok pekerja ini sering kali tidak memiliki akses terhadap sistem perpajakan yang lebih fleksibel, seperti pengurangan pajak atau penghindaran pajak legal.

  • Data menunjukkan bahwa tax ratio Indonesia, yang terus menurun dari 12,9% pada 2010 menjadi 9,76% pada 2019, mencerminkan ketimpangan alokasi beban pajak. Ini mengindikasikan bahwa kelompok animal laborans lebih sering menjadi target utama pemungutan pajak dibandingkan kelompok elit yang mampu menghindari kewajiban pajak melalui celah regulasi.

Kelompok animal laborans di Indonesia, seperti pekerja informal dan petani, merasakan dampak langsung dari ketidakadilan ini. Alokasi belanja negara yang tidak tepat, seperti subsidi BBM yang lebih besar dibandingkan belanja sosial (1,2% dari PDB), memperburuk situasi ini. Belanja sosial yang minim mengurangi kemampuan negara untuk menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial yang layak bagi masyarakat kelas bawah.

Dalam konteks global, ketidakadilan ini juga mencerminkan kegagalan negara-negara berkembang dalam menahan aliran modal yang mengalir ke tax haven. Menurut laporan Tax Justice Network, sekitar USD 427 miliar hilang setiap tahun akibat penghindaran pajak, dengan sebagian besar dampaknya dirasakan oleh negara-negara miskin.

Work: Infrastruktur Pajak dan Homo Faber

Arendt mendefinisikan work sebagai proses penciptaan yang memiliki tujuan jelas dan menghasilkan sesuatu yang lebih permanen. Dalam konteks pajak internasional, work dapat dilihat dalam desain sistem perpajakan seperti:

  • Tax treaty: Perjanjian ini bertujuan untuk menghindari pemajakan berganda, tetapi sering kali tidak efektif dalam mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan besar. Sebagai contoh, laporan Pandora Papers menunjukkan bagaimana tax treaty digunakan oleh individu kaya untuk menyembunyikan kekayaan mereka di yurisdiksi dengan tarif pajak rendah. Akibatnya, pendapatan pajak yang seharusnya masuk ke negara asal hilang begitu saja.

  • Tax ratio: Arendtian work menekankan pentingnya alat yang dirancang dengan tujuan yang jelas. Sayangnya, tax ratio Indonesia yang terus menurun menunjukkan kurangnya optimalisasi alat ini untuk memenuhi tujuan keadilan dan kesejahteraan. Menurut OECD, rata-rata tax ratio negara Asia-Pasifik mencapai 21%, jauh di atas Indonesia. Hal ini menunjukkan perlunya reformasi yang mendalam dalam sistem pengumpulan pajak di Indonesia.

  • Kebijakan pajak: Perancangan kebijakan yang buruk menciptakan paradoks, di mana rakyat kecil menanggung beban pajak sementara pengusaha besar dapat menghindar melalui berbagai skema. Misalnya, tax amnesty sering kali memberikan kesempatan kepada entitas besar untuk melegitimasi kekayaan mereka tanpa konsekuensi signifikan, sementara masyarakat kelas bawah tetap terjebak dalam sistem pajak yang memberatkan.

Untuk menjadi efektif, infrastruktur pajak harus dirancang dengan prinsip keadilan dan transparansi. Proses ini membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas internasional untuk menciptakan kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat luas, bukan hanya kepentingan segelintir pihak.

Action: Dialog Pajak dan Keadilan Global

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun