Terinspirasi dari kisah sendiri
Kita tidak bisa memilih harus terlahir dari rahim siapa, tapi kita bisa memilih akan menjadi apa, begitu kiranya kata yang pantas disematkan kepada Azira Ramadhani gadis cantik dari Pedalaman Madura, kejadian yang menimpa hidupnya tidak menjadikanya patah semangat untuk meraih pendidikan tinggi.Â
Momentum hari raya idul fitri yang seharusnya diisi saling memaafkan ternyata berbanding terbalik, siang itu Aku dan adiknya menangis setelah diusir dari rumah peninggalan almarhum kakek oleh saudara ibu yang pertama. Selang beberapa hari setelah kejadian tersebut ayah datang dengan maksud menalak ibu sempat terjadi cekcok namun aku tidak tahu apa yang dikatakan oleh orang dewasa saat itu, terbilang aku masih sangat kecil hanya mampu menangis. Sebenarnya setelah pengusiran kami sempat menumpang di rumah saudara ibu yang lain, tidak begitu lama karena kami sering menerima sindiran dan perlakukan tidak menyenangkan oleh sang empu.Â
Seiring berjalan waktu ibu mendapat rezeki untuk membangun rumah walaupun beratapkan asbes dan berdinding seng, kami bersyukur setidaknya bisa berteduh kala hujan. Seperti anak lainnya aku masih bisa menikmati pendidikan yang lumayan layak namun tidak dengan ekonomi ku saat itu, bergantung pada pekerjaan ibu sebagai petani di lahan orang yang bayarannya tidak menentu, sempat kami sekeluarga hanya mampu makan singkong yang kami tanam karena tidak memiliki sesuatu untuk dimakan. Sampai pada akhirnya ibu ditawarkan bekerja di rumah "Ndalem" sesepuh desa sekaligus pemilik yayasan aku menimba ilmu, untuk menyambung hidup ibu rela jadi buruh cuci yang gajinya tidak seberapa, cukup untuk hari itu tapi tidak bisa disimpan esok hari.Â
Tibalah ketika ibu bekerja di rumah Ndalem aku melihat cucian yang dibawa ibu ada 4 ember dan 2 bak, karena tempat jemuran satu halaman dengan halaman sekolah jadi sangat terlihat jelas saat ibu mengangkat ember, ada satu teman nyeletuk "Zira kamu tidak ada niatan membantu ibumu" ucapnya sambil melihat ke arahku, aku menjawab "Tidak, itu sudah tugas ibuku" dengan santainya aku menjawab seperti itu walaupun sebenarnya dalam hati terdapat rasa gengsi dan malu karena ibu bekerja di sana, sepulang sekolah aku ditegur oleh ibu karena tidak membantunya, ibu menceramahi ku tentang kerasnya hidup. Perkataan ibu saat itu membuatku sadar, tenyata aku terlalu gengsi dan tidak menerima kenyataan, sejak saat itu seterusnya aku mulai membantu meringankan pekerjaannya, tiba saat pembagian raport senang bukan kepalang ternyata aku mendapat rangking 1 hal itu terjadi mulai kelas IIV sampai lulus.Â
Sedari kelas IIV aku memiliki cita-cita ingin kuliah tapi terkendala biaya, yang aku tahu sebelum melanjutkan pendidikan tingkat universitas kita harus menempuh jenjang SMA atau SMK terlebih dahulu, dibawalah aku ke Surabaya oleh tetangga yang berbaik hati untuk membantu, tetangga kami menjelaskan bahwa untuk tinggal dan menempuh sekolah di sana ternyata tidak mengeluarkan biaya sepeserpun (gratis) awalnya mereka berbicara bahwa basis tempat yang akan aku tinggali adalah Pesantren, namun setelah masuk ternyata Panti Asuhan. Ibu bercerita, setelah pulang mengantar aku diperjalanan, ia menangis jika saja tahu ternyata panti mana mau ibu memasukkan aku kesana namun nasi sudah menjadi bubur, aku pasrah daripada tidak melanjutkan sekolah maka terimalah kenyataannya.Â
Hari pertama di sana sangat melelahkan karena aku harus banyak berkenalan dengan teman panti, patut disyukuri ada anak yang bernama sebut saja mba Mia dialah yang mengajakku pertama kali berbincang, setelah banyak berbincang tenyata ada kesamaan antara aku dan Mia, ibu dan ayahnya tinggal di Madura tepatnya Desa Kwanyar. Dia berada di sini tujuannya sama denganku yaitu melanjutkan pendidikan tingkat SMK, yah... aku memilih masuk SMK karena bagiku jika tidak bisa kuliah syukur-syukur bisa kerja di tempat layak, aku mengambil kejuruan akuntansi setelah melakukan pendaftaran masih menunggu beberapa hari untuk masuk sekolah, hal itu aku manfaatkan untuk berkenalan ini dengan teman sesama panti yang akan menempuh satu kejuruan yang sama ada beberapa yang ku kenal yaitu: Isna, Salma, dan Nisak.Â
Jujur aku lebih akrab dengan Nisak, saat penentuan penempatan kelas kami satu kelas aku bersyukur Allah memberi jalan seperti ini, apa yang aku inginkan terkabul yaitu bisa melanjutkan pendidikan. Tiba saat PLS, hari pertama aku sudah mengenal beberapa teman, hari demi hari aku lalui terkadang hiruk pikuk kota Surabaya dalam diam sambil mengamati gedung pencakar langit dari balkon tempat penampungan air aku menangis, aku sering berdialog dengan diriku sendiri, terkadang aku merasa sendirian di Kota metropolitan ini walaupun dikelilingi banyak teman, jika teringat aku sangat jauh dari keluarga tangisan semakin menjadi tapi tidak sampai mengeluarkan suara karena jika sampai keluar suara teman-teman akan menghampiriku dan akan bertanya-tanya apa penyebab aku menangis.Â
Beberapa bulan masuk sekolah ada berita virus covid-19 menyebar di Surabaya alhasil proses belajar dilakukan melalui daring disela waktu luang setelah belajar, aku banyak menuliskan harapan pada buku diari, saat kenaikan kelas IX aku mendapat rangking 2 dari 36 siswa. Kelas IX banyak disibukkan kegiatan magang, tempat magangku di kantor konsultan pajak bersama beberapa teman selama 6 bulan, dan untuk 6 bulan berikutnya difokuskan belajar materi persiapan ujian. Menginjak kelas XII aku disibukkan lagi dengan tugas praktek untuk kelulusan, setelah mengerjakan sebagian ujian saat itu ada informasi masuk perguruan tinggi jalur SNMPTN aku mencoba mendaftarkan diri bersama temanku Isna dan Salma namun Nisak tidak berminat karena prioritasnya setelah lulus adalah bekerja, kami bertiga masuk siswa eligible aku berada diurutan no 4 sedangkan temanku yang lain berada diurutan 11 dan 12 sebenarnya banyak keraguan dalam diriku karena ekonomi, siapa yang akan menanggung biaya jika aku lolos, namun temanku yang bernama Isna menasehati ku "Jika benar kamu ingin kuliah, kamu bisa kerja part time untuk menyambung hidup pasti di sana banyak outlet makanan yang membutuhkan karyawan" ujarnya, namun aku sedikit ragu.Â
Selang beberapa hari kami dipanggil pihak BK untuk mendaftar akun KIP-K aku sangat bersemangat semoga lolos agar dapat meringankan beban biaya, saat detik pengumuman kami bertiga berkumpul di kamar menaruh gadget di atas lantai membetuk segitiga, di menit terakhir kami menjerit histeris Salma dan Isna layar handphone mereka berwarna merah tanda ditolak oleh PTN yang pilih sedangkan aku melihat layar handphone sungguh tidak menyangka ternyata berwarna biru tanda diterima di PTN yang aku impikan, PTN yang tidak jauh dari rumahku di Madura, ada raut kecewa pada wajah temanku saat tidak diterima, aku langsung menghubungi ibu di Madura. Saat itu aku mulai membangun pikiran positif tidak lagi bersuudzon kepada Allah banyak nikmat yang sudah diberikan kepadaku tanpa berpikir panjang aku segera mencari informasi mengenai PTN ini dan berhasil. Tidak terasa sudah 3 tahun lamanya berada di Surabaya setelah lulus SMK semua anak akan dikembalikan kepada orang tuanya jadi panti tidak menerima orang yang ingin mengadopsi, karena anak yang masuk kesana rata-rata sudah kelas VII SMP sampai memasuki pendidikan SMK jadi tidak ada balita, yah aku dikembalikan kepada ibuku, banyak kenangan kisah yang awalnya aku benci ternyata sekarang menjadi kisah yang paling aku cintai sambil menunggu pengumuman ospek universitas kegiatanku di rumah menggembala kambing, saat pengumuman penerima beasiswa KIP-K aku mengecek laman siakad, tenyata aku diterima dan sekarang sedang kuliah tanpa biaya sepeserpun.         Â
Nasihat untuk pembaca tercinta