Kita sebagai warga wajib mengkritik negara yang tampak salah arah. Pun dengan berpolitik, kita juga boleh ikut menimatinya.
Namun, tidak lantas kita membenci yang berbeda dalam pandangan. Atau menjadi yang menantang pengubahan ideologi bangsa dengan jargon agama.
Kita boleh berbeda dalam kepercayaan, tetapi kita adalah sama dalam kenegaraan yang dibalut pita Bhinneka Tunggal Ika.
Kita: Indonesia!
Selamat merayakan kemerdekaan untuk Indonesia dan selamat berpuisi!
NKRI, harga mati!
Kita Merdeka!
Karya: NimoÂ
Kita telah jadi. Di atas, awan saling berkejaran, angin memeluknya. Juga sang Garuda, begitu tenang ia terbang berbaris dengan layang-layang milik anak-anak. Di tepi cakrawala.
Di depan rumah-rumahnya, bendera begitu semangat berkibar di atas tiang yang menancap pada tanah. Sebab, kemarin lusa Pak RT begitu semangat pula memberikan arahan pada warga untuk kembali mengenang.
Kita telah merdeka, teriak para pejabat di atas panggung-panggung upacara. Setelah musik begitu syahdu mengiringi sejarah yang dinyanyikan. Tapi, merdeka untuk siapa?
Di dalam surau-surau, para ulama pun berteriak sama, merdeka, bebaslah hati, bunuh para koloni kebencian bertopi baja.
Kemudian pada pelataran sekolah, para guru pun berteriak sama, merdeka, kita adalah generasi baru setelah tanah tertumpah darah dan sejarah perlu terus dibaca.
Dan kita harus lantang pula berteriak, merdeka, untuk sebuah tujuan yang membhinneka, untuk kembali pada satu wadah, dan untuk; merdeka.
(Jakarta, 17 Agustus 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H