Zonasi. Satu kata yang tengah ramai diperbincangkan di ruang lingkup dunia maya dan nyata. Dari mulai diselipkannya pada obrolan ringan hingga yang memang obrolan terkhusus membahas hal tersebut. Zonasi mencuat ke permukaan ketika Mendikbud bersama dengan Mendagri menerbitkan Surat Edaran Nomor 01 Tahun 2019 Â dan Nomor 420/2973/SJ yang ditujukan kepada para Kepala Daerah. Isinya terkait perintah penetapan kebijakan petunjuk teknis (juknis) Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang berlandaskan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 serta zonasi persekolahan seseuai kewenangan masing-masingnya.
Sebelum membahas konsepnya, kita perlu tahu terlebih dahulu arti atau makna dari kata zonasi tersebut. Agar para penyimak tahu secara kepustakaan kata dan tidak ada lagi kata katanya sebagai keterangan di belakang kalimat. Zonasi menurut KBBI versi V yang dikembangkan langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, memiliki arti pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaan; perzonaan. Jadi, pada dasarnya atau bisa dikatakan garis besar dari arti zonasi terbut adalah pembagian yang merata sesuai pembatasan khusus sebuah daerah.
Jika ditinjau dari arti sistem zonasi yang diterapkan oleh Mendikbud pada PPDB tahun sekarang, tujuannya adalah baik. Berusaha menjangkau pemerataan untuk lingkup penerimaan peserta didik. Sehingga tidak ada lagi sekolah yang hampir tutup gedung karena jumlah peserta didik yang tidak menjangkau tingkat minimum. Seperti halnya kabar yang tersebar beberapa tahun silam dari SD Negeri Babakanmaja yang terletak di blok Maja, desa Wanakaya, kecamatan Haurgeulis, Indramayu. Sekolah yang terakreditasi B tersebut dikabarkan akan tutup gedung karena kekurangan peserta didik. Pada tahun ajaran 2018/2019 SD Negeri Babakanmaja Haurgeulis memiliki peserta didik yang terdata di situs http://sekolah.data.kemdikbud.go.id, yaitu laki-laki 42 dan perempuan 25.
Penyebabnya apa? Tidak lain adalah sarana dan prasarana yang kurang memadai. Bahkan sarana yang menurut penulis paling utama seperti Perpustkaan saja tidak ada, informasi tersebut penulis dapat dari masyarakat yang berada di sekitarnya dan data pada situs http://sekolah.data.kemdikbud.go.id.
Ini yang jadi permasalahan, di mana kontra lebih mendominasi terkait kebijakan tersebut. Pertanyaannya, apakah sudah merata pula untuk masalah kelayakan sebuah sekolah? Karena setiap orang tua ingin anaknya masuk pada sekolah yang memang memiliki sarana dan prasarana yang lengkap yang bisa menunjang pendidikan anaknya. Dari sudut pandang inilah pemerintah terlihat kesalahannya menurut pandangan penulis. Bukan salah dalam kebijakannya, tapi lebih pada waktu dan kondisi kebijakan itu diterapkan. Di mana sarana dan prasarana sebuah sekolah masih tersendat pada pemerataan pengadaannya. Karena akan lebih baik jika prosedur penerapan sistem zonasi tersebut di awali dengan pemerataan terhadap sarana dan prasarana yang akan menunjang proses belajar dan pembelajaran di sebuah sekolah.
Lalu, bagaimana jika dalam satu zona terdapat dua sekolah negeri dan satu sekolah swasta? Apakah pemerataan akan tetap terjadi? Atau swasta yang harus mengalah demi negeri?
"Peserta didik bukan kelinci percobaan," kata Jerome Polin pada video yang diunggah di channel youtubenya: Nihongo Mantappu.
Kita bisa melihat konsep dasar dari sistem zonasi tersebut pada unggahan Kemdikbud pada akun Instagram dengan nama pengguna @kemdikbud.ri, sebagai seberikut:
1. Jalur Zonasi minimal 90% dari daya tampung sekolah.
a. Sekolah negeri wajib menerima calon Siswa yang berdomisili sesuai zonasi.
b. Temasuk kuota bagi Siswa: tidak mampu dan/atau penyandang disabilitas (sekolah inklusi).
c. SMA/SMK Negeri wajib menerima Siswa dari keluarga tidak mampu minimal 20% dari daya tampung (Pasal 54A PP 17/2010 jo PP 66/2010)
2. Jalur Prestasi maksimal 5% dari daya tampung sekolah.
a. Domisili calon Siswa di luar zonasi.
b. Berdasarkan: USBN/UN, dan/atau hasil perlombaan dan/atau penghargaan akademik/non-akademik tingkat internasional/nasional/kabupaten/kota. Contoh penghargaan: Duta Lingkungan, Duta Pariwisata.
3. Jalur perpindahan tugas orang tua/wali maksimal 5% dari daya tampung sekolah.
a. Domisili calon Siswa di luar zonasi.
b. Dibuktikan surat penugasan.
c. Bencana alam/sosial tidak menjadi jalur tersendiri (diskresi).
Sebagai penutup, penulis ingin mengatakan; kita boleh memasang peraturan terkait suatu hal untuk sebuah arah kebaikan. Tetapi, kita pula perlu melihat apakah penunjangnya telah siap sehingga tidak ada yang harus dikorbankan dari dua sisinya.
Salam lestari!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H