Mohon tunggu...
Deni Purnomo
Deni Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Abal-abal

Seorang pekerja yang berusaha menjadi mahasiswa disalah satu Universitas swasta di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Regenerasi yang Langka

16 Mei 2019   08:32 Diperbarui: 16 Mei 2019   09:01 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Grup Pesona Indramayu

Menyesuaikan secara bertahap, melakukan dengan mudah, tapi mengawali adalah kesulitan dari apa yang terencanakan. Mungkin itu adalah pernyataan yang tepat bagi era yang diinjak Indonesia sekarang. Era revolusi industri 4.0, di mana menggiring mindset masyarakat agar satu visi dengan pemerintah bukanlah hal yang mudah. Pro dan kontra pastilah ada di balik layar. 

Revolusi ini menjangkau seluruh kalangan, dari yang berada di perkotaan hingga pedesaan. Mereka yang tidak mau menyesuaikan akan tertinggal, bahkan yang paling buruknya adalah tergilas oleh zaman. Begitu pula para petani dan dunia pertanian yang memiliki peran dalam sektor pembangunan, harus mampu menyesuaikan dengan era disrupsi tersebut, yaitu era terjadinya sebuah perubahan yang mendasar di berbagai sektor kehidupan.

Penyesuaian tersebut diharapkan dapat menghadirkan keefisienan dan keefektifan guna meningkatkan produktivitas dan daya saing pangsa pasar yang akan memunculkan kesejahteraan dan merangkul para petani sebagai amunisi semangat untuk terus meningkatkan kualitas dan kuantitasnya.

Seperti yang pernah disampaikan oleh Kementerian Pertanian melalui berbagai perangkatnya ke beberapa media dan seminar, bahwa mereka sudah menyiapkan langkah strategis dalam mendukung revolusi yang sedang menyambangi Indonesia. Sebab, tantangan ke depan yang akan dihadapi adalah meningkatnya permintaan produk berstandar.

Namun, usaha-usaha yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian untuk menyesuaikan dan mengimbangi laju revolusi 4.0 di Indonesia bukan tanpa hambatan. Banyak sektor yang perlu mereka olah agar tidak terjadi ketimpangan di tengah jalan. 

Salah satunya adalah pengetahuan, sebuah hal yang perlu dibenahi agar para petani mengenal teknologi yang memiliki peran sebagai penyokong untuk memaksimal pekerjaannya. 

Sebab, ada lima teknologi utama yang menopang implementasi industri 4.0, yaitu Internet of Things, Artificial Intelligence, Human-Machine Interface, Robotic dan sensor, serta 3D Printing. 

Hal tersebut adalah alasan yang mengharuskan para pemangku sektor pertanian mempersiapkan diri untuk beradaptasi guna menjawab tantangan masa depan, agar kekhawatiran yang mewanti-wanti bisa berubah menjadi sebuah peluang yang menguntungkan tanpa merusak lingkungan.

Seperti halnya Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang telah bergerak mengimbangi laju revolusi 4.0 di sektor teknologi, yaitu mengembangkan bibit padi unggul varietas M400 dan M70D yang mampu menghasilkan panen lebih dari 9 ton per hektare, serta pupuk organik yang dapat memperbaiki kualitas hara tanah yang sebelumnya menurun karena pupuk anorganik menjadi subur kembali untuk ditanami.

Itu akan menjadi tantangan bagi pemerintah, sebab bukan hal yang mudah mentransfer pengetahuan dan menerapkannya. Apalagi Badan Pusat Statistika mencatat jumlah petani mengalami penyusutan, usia petani yang masih bertahan pun didominasi oleh angka di atas 45 tahun, dengan rata-rata pendidikan hanya sampai tingkat SD, bahkan banyak yang tidak sampai lulus. Itulah yang menjadikan kapasitas penerapan teknologi baru begitu rendah. 

Sementara proses regenerasi baru begitu lambat, terutama pada sektor tanaman pangan. Seperti yang terlihat di lapangan, bahwa mindset generasi muda sekarang adalah lebih kepada industri, karena output yang mereka hasilkan lepas dari ikatan laba-rugi. 

Hanya bermodal tenaga dan kemauan untuk diatur oleh atasan serta peraturan yang belaku di lingkungannya. Lain halnya dengan menjadi petani, laba-rugi harus mereka pertimbangkan, pengalokasian modal, dan teknik pengolaan pertaniannya juga harus tepat. 

Lambatnya regenerasi petani juga didukung oleh keputusan orang tua yang tidak menurunkan pengetahuan pertaniannya, karena minat untuk menjadikan anaknya sebagai petani sudah beralih dengan minat ke dunia perindustrian, tentu alasannya adalah tentang hasil. Hal tersebut bukanlah suatu peningkatan, tapi lebih kepada ketidakseimbangan sebuah kemajuan. 

Karena dampaknya adalah pada sektor ketersediaan pangan produk dalam negeri, yang menjadi alasan pemerintah melakukan impor produk dari negara luar. Karena usia dapat mempengaruhi aktivitas bertani dalam melakukan pengolahan usaha taninya, pengaruh tersebut terjadi pada kondisi fisik dan kemampuan berpikirnya. 

Semakin muda umurnya, semakin kuat fisiknya dan lebih dinamis dalam mengelola pertaniannya. Bukan hanya itu, petani muda akan lebih berani mencoba inovasi yang dipikirnya akan memaksimalkan produktivitas hasil pertaniannya.

Usia produktif menurut hasil penelitian tahun 2015 yang dilakukan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) yaitu 16-35 tahun, usia potensial untuk mengembangkan usaha pertaniannya. 

Dalam hal ini, pemerintah dan terutama Kementerian Pertanian harus lebih banyak memunculkan inovasi terutama untuk menumbuhkan minat generasi baru untuk menjadi pengolah. 

Bukan hanya akan meningkatkan produktivitas pertanian, tapi juga akan mengurangi tingkat pengangguran di masyarakat karena banyaknya peluang pekerjaan yang dihasilkan dari sektor-sektor tersebut. Bukan hanya untuk masyarakat yang berijazah, tapi juga untuk masyarakat dari kalangan bawah yang sudah terlanjur tidak melanjutkan sekolah.

Jika dari tingkat pengetahuan yang semakin luas, latar belakang Pendidikan yang semakin baik, dan usia yang produktif turun sebagai pemeran utama, menggantikan mereka yang sudah tercatat sebagai yang berumur tua. 

Maka yang akan kita rasakan adalah keseimbangan dari berbagai sudut pandang. Baik dari kesejahteraan masyarakat, peningkatan devisa dari hasil produk lokal berstandar yang diekspor, dan juga berkurangnya transaksi impor. 

Sehingga neraca akhir dari sektor pertanian, baik itu padi, jagung, maupun holtikultura tidak lagi akan menduduki kursi defisit, tetapi akan berganti kursi yang berada diposisi seimbang atau jauh lebih tinggi yang bernama surplus. 

Kuncinya ada pada regenerasi baru dan tokoh pemerintah yang aktif merangkul. Bukan hanya di daerah yang besar atau lewat media, berusahalah juga untuk turun sebagai pemeran utama yang tidak hanya memberi wadah mati, tetapi jadilah kotak solusi yang yang tersebar di pelosok terpencil Nusantara. Sebab, anak muda dan digitalisasi butuh perhatian langsung dari yang ahlinya. 

Sehingga visi dan misi akan tersesuaikan antara dua kepala, tidak lagi menjadi sebuah kontra sebab pemahaman yang tidak keseluruhan menjadikan paham. Maka suatu saat, daun hijau yang tersinari cahaya akan berfotosintesis dan gugur menua sebagai hara yang bermanfaat bagi tanah, tidak lagi jatuh dengan sia-sia. 

Salam literasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun