Mohon tunggu...
Deni Purnomo
Deni Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Abal-abal

Seorang pekerja yang berusaha menjadi mahasiswa disalah satu Universitas swasta di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Suporter Sepak Pilpres

21 April 2019   09:11 Diperbarui: 21 April 2019   09:36 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika kita membahas suporter sepak bola, kadang yang terpikir pertama adalah gambaran kefanatikan. Indonesia adalah salah satu negara pemilik suporter sepak bola yang memiliki kefanatikan yang begitu kuat. Semua bisa dilihat ketika Tim Nasional sedang berlaga tanding dalam setiap pertandingan. 

Maka kekompakkanlah yang akan disajikan disetiap bagian tribun stadion. Tidak hanya kompak dalam segi positifnya, kadang pula dari segi negatif yang memicu terjadi kericuhan. Padahal jika kita telusuri permasalahannya hanya sebatas bahasa pemenang yang dianggap menyindir kekalahan.

Ternyata, semboyan 'Menang kalah itu biasa' yang selalu digaungkan, bahkan oleh diri sendiri masih tidak cukup untuk mengunci egoisme dan emosi. Meluluhlantakkan apa yang sudah diniatkan sebelum ada apanya. Damai, tertib, dan pulang beriringan seketika menjadi katanya.

Terlepas dari itu, mereka hanyalah suporter, penonton, atau penikmat. Mereka bukanlah pelaku yang melakukan tendangan untuk menciptakan gol, bukan pula orang yang menggengam peraturan yang berdiri di tengah. Namun, sangat lihai mengomentari dan mengkritik, bahkan sampai mendahulukan ketidakpercayaan terhadap hal yang belum mereka tahu. 

Bisa juga diumpamakan sebagai orang yang sedang berkhayal tentang apa yang akan ia tuliskan sebagai puisi, tanpa terlebih dahulu membayangkan bagaimana rasanya berada di tengahnya.

Hal tersebut juga terjadi pada pemilihan Presiden 2019 yang baru diangkat dari penggorengan dan masih hangat. Suporternya pun tidak tanggung-tanggung, bukan hanya dari kalangan awam saja, bahkan kalangan elit juga ikut di dalamnya. 

Ketika kefanatikan pada sepak bola akan selesai saat pertandingan usai, berbeda dengan kefanatikan pada pemilihan Presiden 2019 ini, fanatismenya berlanjut hingga TPS-TPS telah dibongkar habis dari tempatnya dibangun. Apa yang menjadi sebabnya?

Pertama, hasil akhir yang masih berjalan pada prosesnya menuju penentuan. Hal tersebut menjadi pengaruh utama fanatisme terhadap calon Presiden masing-masingnya. Bahkan Lembaga-lembaga survei ikut menjadi pemrediksi layaknya Paul, Gurita si peramal Piala Dunia 2010. 

Yang percaya akan optimis, sedangkan yang tidak akan mencari peramalnya sendiri. Bahkan ada yang larut dan begitu mempercayai hasil dari peramalnya, hingga harga diri rela mejadi taruhan dengan saling ngotot klaim kemenangan.

Kedua, karena terdapat kejanggalan yang dilakukan oleh KPU menurut pandangan sebelah kubu. Di mana KPU memosisikan dirinya sebagai wasit yang berdiri di tengah tiga kubu; Tim J, Tim P, dan Tim Penonton yang berada di tribun masing-masingnya. "KPU curang, KPU memanipulasi data." Begitulah kurang lebih garis besar pernyataan atas ketidaksetujuan hasil yang telah disajikan secara transparan pada situs resmi milik KPU. 

Bahkan data C1 yang telah diedit berdampingan dengan screenshoot data yang terdapat perbedaan dari situs KPU begitu cepat tersebar di sosial media. Apakah yang ikut membagikan telah survei sendiri? Saya rasa tidak. Sebab dari beberapa foto yang telah dibagikan itu ketika dicek langsung datanya sesuai. Lalu, siapa yang curang dan memanipulasi data? Itu yang masih menjadi hal gaib.

Jadi, kenapa KPU membuat transparansi data di situsnya? Kalau tujuannya adalah ingin membohongi masyarakat. KPU itu telah memudahkan siapapun untuk mengakses data yang telah diinput yang disertakan juga hasil scan C1-nya. 

Jika ada kesalahan, kelalaian, atau perbedaan pada penginputan data suara pemilihan Presiden 2019, mudah saja, laporkan sesuai prosedur. Itulah fungsi dibuatnya transparansi data, agar masyarakat ikut andil, aktif dalam menyukseskan demokrasi Indonesia. 

Karena menuduh siapa yang salah tanpa mengkajinya, adalah sikap yang keluar dari garis lurus negarawan sejati, sikap yang lepas dari kedewasaan, layaknya anak kecil yang saling menuduh karena takut disalahkan.

Bukankah manusia adalah tempatnya kesalahan dan kelupaan? Cerdaslah dalam mengambil tindakan dan kritisilah sebelum berpendapat. Sebab mengkritik bukanlah tentang menjatuhkan, tapi tentang bahasa yang terlontarkan dengan solusi sebagai penerang di tengah kegelapan yang menyembunyikan jalan.

Salam literasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun