Mohon tunggu...
eny mastuti
eny mastuti Mohon Tunggu... -

Ibu dua orang remaja. Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rantai Balas Dendam Boikot dan Rasionalitas Konsumen

1 Januari 2018   12:19 Diperbarui: 2 Januari 2018   09:16 1701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar : alibaba.kumpar.com

Akhir tahun 2016 hingga sepanjang  2017, kita melihat beberapa aksi atau seruan boikot terjadi di tanah air. Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, Boikot atau pemulauan adalah tindakan untuk tidak menggunakan, membeli, atau berurusan dengan seseorang atau suatu organisasi sebagai wujud protes atau sebagai suatu bentuk pemaksaan. Kata ini berasal dari serapan bahasa Inggrisboycott yang mulai digunakan sejak "Perang Tanah" di Irlandia pada sekitar 1880 dan berasal dari nama Charles Boycott, seorang agen lahan (estate agent) untuk tuan tanah Earl Erne.

Boikot juga bisa diartikan sebagai penolakan kerja sama.

***

Kilas balik sejenak apa saja peristiwa boikot di Indonesia, selama kurun waktu sekitar satu tahun kemarin.

Dimulai dari aksi boikot Sari Roti karena memberikan klarifikasi tentang posisi  dan "hadirnya" produk roti mereka dalam aksi demo  212,  Desember 2016. Konferensi pers langsung disambut tagar boikot Sari Roti. Bahkan air mineral yang dijual satu paket dengan Sari Roti  juga menjadi sasaran boikot.

Pada Bulan Oktober 2017, perusahaan ekspedisi J&T menjadi sasaran  berikutnya. Penyebab, beredar video acara gathering perusahaan tersebut  di sebuah hotel di Jakarta, dimana panitia menyediakan minuman keras untuk para  peserta. Viral video  ber-miras ria, direspon dengan tagar boikot J&T.

November 2017, giliran Traveloka.  Ajakan mencabut aplikasi Traveloka kemudian menjadi tren topik di Twitter, dengan tanda pagar #UninstallTraveloka. Seruan ini sebagai buntut aksi walk out pianis Ananda Sukarlan, saat Gubernur Anis Basewdan berpidato. Beredar kabar,  pendiri Traveloka termasuk dalam kelompok yang meninggalkan ruangan. Belakangan diketahui  Bos Travelola tidak hadir dalam acara, sehingga tidak mungkin ikut walk out.

Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, memantik reaksi di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, demo penolakan dikemas dalam Aksi Bela Palestina di panggung di Lapangan Monumen Nasional (Monas). Salah satu seruannya adalah agar masyarakat Indonesia memboikot produk AS dan Israel yang beredar di Tanah Air. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi salah satu inisiator aksi boikot.

Yang terbaru, di penghujung tahun 2017,  seruan  boikot TopSkor mewarnai  dunia maya. Setelah Tabloid Olah Raga  tersebut memberhentikan seorang wartwawannya karena dianggap menghina salah satu ulama, dalam cuitan di akun twitter.

Melihat perkembangan terakhir, aksi boikot telah mendekati sempurna, menjadi  rantai balas dendam. Hari ini kubu A memboikot produk dari perusahaan yang dinilai bersekutu dengan lawan. Dan tak lama kemudian, pihak B menemukan celah, momen atau alasan yang dinilai pas untuk melakukan hal yang sama : BOIKOT.

***

Beberapa aksi boikot di tanah air, hampir selalu digagas dan dilaksanakan oleh masyarakat. Ketika media sosial ramai dengan tagar boikot produk tertentu, respon pro maupun kontra hanya berasal dari sesama warganet.  Hampir tidak terdengar suara pemerintah atau pejabat dan tokoh  nimbrung dalam aksi penolakan produk.

Tetapi ketika aksi boikot diserukan oleh sebuah institusi resmi (MUI), maka respon dari petinggi negara pun muncul. Wakil Presiden Jusuf Kalla  mengatakan bahwa aksi boikot terhadap produk Amerika Serikat dan Israel sulit dilakukan. Sebab, masyarakat masih sangat bergantung pada produk-produk negara tersebut. Wapres bertanya, sanggup nggak, hidup tanpa WhatsApp, iPhone, Google?

Meskipun bernada kontra terhadap seruan MUI, ternyata pernyataan Wapres Jusuf Kalla tak direspon berlebihan.  Adem-adem saja. Sebuah akun di media sosial menyatakan, untung yang  komen   Pak Kalla, coba kalau Presiden Jokowi  yang   ngomong,  pasti disambut demo lanjutan.

Saya pun berpendapat demikian, tetapi tambah satu lagi. Yaitu pertanyaan, sebenarnya ini pernyataan spontan Pak JK ketika dicegat wartawan, atau memang telah disetting oleh Kabinet Presiden Jokowi. Jika iya, ini langkah jitu. Karena Pak JK dikenal cukup rasional dalam menilai persoalan. Dan melalui pernyataannya (sebagian) rakyat Indonesia diajak kembali ke dalam pola pikir rasional.

Nur Iman Subono, dosen ilmu politik dari Universitas Indonesia menanggapi seruan boikot produk Amerika dan Israel :    kalau mau realistis, praktik boikot tidak bisa dilakukan.  Ini hanya ujaran kekesalan, politis, dan emosional.   Alasannya, pernyataan sikap dan sebagainya juga masih ditulis dengan menggunakan piranti lunak pemroses kata produk Amerika, dengan komputer yang menggunakan sistem operasi produk Amerika, dan mungkin diposting di situs yang menggunakan sistem produk Amerika. Serta disebar-luaskan dengan aplikasi produk Amerika juga. (Tribunnews.com).

********************

Dari aspek bisnis,  mengutip Hermawan Kertajaya : dunia marketing pada umumnya meliputi mind share, market share  dan heart share.     Mind share   adalah kekuatan merek di dalam benak konsumen kategori produk bersangkutan.  Market share   menunjukkan kekuatan merek di dalam pasar tertentu dalam hal perilaku pembelian aktual dari konsumen. Sedangkan   heart share  lebih pada nilai tambah dengan mengedepankan kepuasan pelanggan secara emosional.

Saya belum menemukan, dimana posisi  politis dan emosional  yang mendorong aksi boikot, dirangkum dalam teori marketing tersebut.  Tips bagaimana menjaga emosi konsumen agar tidak tersulut dan membenamkan rasionalitas berpikir terhadap suatu produk. 

 Mungkin tahun 2018 ini, yang katanya tahun politik, dimana unsur sensitifitas meninggi, nafsu saling menjatuhkan pun mungkin meningkat, maka unsur tersebut perlu dipertimbangkan.

Dalam buku Perang dan Manajemen Sun Tzu,  disebutkan persaingan dalam dunia bisnis dapat juga kejam tanpa ampun.    Kompetisi ini mengacu persaingan antara sesama produsen.  Bagaimana jika di zaman now,  tantangan itu juga berasal dari konsumen yang mudah tersinggung dan terhasut, lalu menolak membeli produk karena alasan yang sama sekali tak terkait dengan mind share, market share dan heart share ?

Sepertinya  semakin berat medan yang harus dilalui para pengusaha. Anak  panah, peluru, dan serangan mematikan lain, tak hanya datang dari pihak lawan, tetapi juga dari penduduk sipil atau penonton yang sewaktu-waktu bisa menjadi serdadu dadakan dengan motivasi membunuh atau melukai karena tak suka atau benci saja, bukan karena ingin merebut atau menguasai pangsa pasar.

****************

Semoga 2018 menjadi tahun penuh nalar dan logika, bukan hari-hari yang penuh agitasi dan benci.

Bagi yang berkepentingan dengan dunia produksi dan jasa, semoga rangkaian aksi boikot menjadi pelajaran bahwa kualitas produk dan layanan saja tak cukup untuk merebut hati konsumen. Mengindari sikap dan tindakan yang berpotensi menyinggung perasaan publik, juga menjadi faktor non teknis yang perlu diperhatikan.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun